Namun tidak dipungkiri, tahun ini adalah tahun terberat bagi para pelaku usaha. Apa pun itu. Tidak terkecuali usaha di bidang jasa tata rias pengantin, yang notabene cara kerjanya harus berkontak langsung dengan customer.
Seorang perias pengantin tidak mungkin menghindari obyek yang akan diriasnya. Bahkan kami harus sangat begitu dekat. Saling berhadapan dengan jarak sekitar hanya 30 sentimeter. Sementara imbauan rentang jarak (social distancing) di masa pandemi adalah minimal 2 meter.
Lantas bagaimana si sulung---yang meneruskan pekerjaan saya sebagai perias pengantin menyikapi hal ini?
Rupanya jauh-jauh hari ia sudah menyusun strategi. Ia tetap bersikeras menjalankan protokol kesehatan yang berlaku demi keamanan bersama. Di antaranya, ia hanya mau merias untuk acara ijab kabul saja. Tanpa acara panggih, karena masa kontaknya relatif sebentar.Â
Selanjutnya ia menolak merias di rumah si pemilik hajat---seperti yang biasa kami lakukan sebelum Covid-19. Si sulung memilih merias di rumah saya dengan alasan, menghindari kerumunan orang. Tahu, bukan? Bagaimana kondisi rumah orang yang sedang punya gawe? Pasti heboh, banyak orang hilir mudik, wira-wiri menyiapkan segala sesuatu.Â
Nah, di rumah saya, selain jaraknya dekat dengan rumah calon pengantin dibanding rumah si sulung, suasananya sepi banget. Hanya ada saya berdua dengan si bungsu.
Dua poin di atas kiranya belumlah cukup. Masih ada syarat-syarat lain yang harus disepakati antara si sulung dan calon pengantinnya.
Baca juga :Inilah Rahasia Mendapatkan Kebahagiaan, ketika Menikah tanpa Cinta
Nikah di Masa Pandemi, yang Penting Ijab Kabulnya!
Suatu pagi, di klinik, ada yang membuntuti langkah saya. Seorang gadis cantik, perawat khusus luka diabetes dari ruang sebelah yang sebentar lagi akan dipersunting oleh kekasihnya, seorang anggota TNI.
"Bu, mau nunut timbang badan."