Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Misteri Peti Mati

2 Juni 2020   06:25 Diperbarui: 2 Juni 2020   06:38 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Jhon, sepupuku, ia datang ketika aku bersiap-siap menutup pintu apartemen. Jhon tidak tersenyum. Wajahnya tampak serius. Dan itu cukup membuatku urung memutar anak kunci.

Tanpa bertanya apa-apa, kembali aku mendahului masuk ke dalam apartemen, lalu berdiri di dekat jendela menatap jalanan yang sedikit berkabut.

Jhon membanting tubuhnya di atas sofa. Setengah bergumam ia meraih pemantik api yang tergeletak di atas meja.

"Kau meninggalkan sigaretmu di kamar mandi, Jhon. Beberapa menit yang lalu," aku berkata tanpa menoleh.

"Bagaimana kau bisa tahu itu, Sherlick?" Jhon melempar kembali pemantik api di tangannya.

Aku berbalik badan. Ujung mataku terarah pada bawah celana Jhon yang basah.

"Celanamu yang menunjukkannya, Jhon. Kau sedang merokok di kamar mandi. Serbuk tembakaunya menempel pada ujung celanamu. Sampai sesuatu, mungkin berita tentang orang hilang itu membuatmu terburu-buru harus menemuiku. Lihatlah! Kau bahkan salah memasang letak kancing kemejamu."

Aku tertawa melihat sepupuku itu kikuk dan terburu-buru merapikan kancing kemejanya.

"Aku tidak habis pikir mengapa kau selalu saja bisa menebak dengan benar apa yang sudah kulakukan, Sherlick. Apakah kau memasang cctv untuk memata-mataiku?" Jhon menggerutu.

"Itu tidak penting, Brother. Ada hal yang lebih penting saat ini. Kita harus bergegas menuju rumah pendeta itu. Tuan Martin. Sebelum semua terlambat!"

Aku menarik kerai jendela. Lalu memberi tanda agar Jhon segera beranjak mengikutiku.

***
Rumah milik pendeta itu tidak terlalu bagus. Ukurannya juga sedang-sedang saja dengan gaya arsitektur kuno yang tampak suram.

Aku dan Jhon mesti menunggu agak lama sampai terdengar suara langkah kaki diseret menuju pintu.

Seorang perempuan, setengah umur, berdiri menyambut kedatangan kami.

"Nona yang tadi menelpon? Maaf harus menunggu. Suami saya masih berdoa untuk kematian salah seorang jemaatnya. Tuan Fredy."

"Bisa Anda mengantar saya ke ruangan di mana suami Nyonya tengah berdoa?" Aku merandek maju. Diikuti oleh Jhon.

Terjadi sedikit keributan. Istri Tuan Martin ternyata menghalangi keinginanku. Ia bahkan berseru lantang mengancamku.

"Saya bisa memanggil polisi untuk menangkap Anda, Nona!"

"Silakan! Itu justru lebih baik, Nyonya. Dengan begitu polisi bisa membantu saya memeriksa peti mati Tuan Fredy." Aku balas mengancamnya.

"Maksud Anda?" Perempuan itu terlihat mulai panik.

"Maksud saya sangat jelas, Nyonya."

Keributan kecil itu membuat Tuan Martin keluar dari ruang dalam. Wajahnya yang dingin menunjukkan rasa tidak suka atas kehadiranku.

"Istri saya benar. Kami bisa saja memanggil polisi dan menangkap Anda dengan pasal mengganggu ketenangan orang lain!" Tuan Martin menatapku tajam.

"Saya hanya ingin memastikan satu hal, Tuan Martin. Apakah mayat di dalam peti mati itu memang benar Tuan Fredy? Jika Anda memberi kesempatan pada saya untuk melihatnya, saya berjanji setelahnya akan segera pergi."

Tuan Martin diam sejenak. Lalu memberi tanda dengan telunjuknya agar aku dan sepupuku mengikutinya masuk ke ruang dalam.

Sebuah peti mati berada di tengah-tengah ruangan. Sesaat Jhon meneliti keadaannya sembari bergumam. "Sepertinya peti ini sudah dipaku paten, Sherlick."

"Buka paksa, Jhon! Kau bisa melakukannya, bukan?" Suaraku terdengar mulai gugup. Aku memang sedang dikejar waktu.

Dan aku merasa lega, ketika Jhon berhasil melakukannya dengan sangat baik. Peti mati itu terbuka lebar.

Tampak sesosok mayat, seorang pria tua terbujur kaku di dalamnya.

Aku mendekat, mengamati sekali lagi. Memastikan bahwa mayat di dalam peti mati itu memang benar-benar Tuan Fredy.

"Bagaimana? Anda puas Nona? Sekarang, jika Anda tidak ingin saya benar-benar memanggil polisi, silakan segera pergi dari rumah ini!" 

Tuan Martin menarik lenganku dengan kasar. Lalu berseru lantang ke arah Jhon. "Dan Anda Tuan bertubuh pendek, tutup kembali peti mati itu seperti sedia kala!"

***
Sepanjang perjalanan pulang otakku terus bekerja. Mencari kemungkinan-kemungkinan kecil yang bisa saja terjadi.

"Sudahlah Sherlick. Hilangnya Nona Scott jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan pendeta itu." Jhon mencoba membaca pikiranku.

"Aku masih meragukan apa yang baru saja kulihat, Jhon. Dan kau paham apa artinya itu, bukan?" aku menatap Jhon sejenak. Sepupuku itu akhirnya mengangguk meski tampak ada sedikit kebingungan terpancar dari sorot matanya.

"Baiklah. Lupakan soal mayat pria tua itu, Jhon. Sekarang mari bergegas pergi menemui tukang pembuat peti mati yang alamatnya sudah berada di dalam kantong celanaku," aku menepuk pundak Jhon perlahan. Sangat perlahan.

***
Tidak butuh waktu lama untuk menggali keterangan dari tukang jasa pembuat peti mati yang kami datangi. Aku pun segera mencatat hal-hal penting yang disampaikannya, baik-baik, di dalam kepalaku.

"Kita kembali ke rumah pendeta itu, Jhon! Kita periksa sekali lagi peti matinya!"

"Itu berarti akan terjadi keributan lagi, Sherlick. Lalu polisi akan benar-benar menangkap kita."

Aku tidak menggubris kata-kata Jhon. Aku lebih peduli pada otakku yang fokus memikirkan satu hal. 

Keselamatan seseorang. Yup, Nona Scott!

***
Kami nyaris terlambat. Mobil Tuan Martin sudah menggerung di halaman, siap untuk berangkat ke tempat pemakaman ketika kami tiba.

"Stop! Hentikan!" Aku merampas kunci mobil dari tangan pendeta setengah umur itu. Lalu dengan sigap Jhon meringkus pria bertubuh kekar itu menggunakan borgol. Selanjutnya, tanpa membuang waktu Jhon melompat ke dalam mobil untuk membongkar peti mati yang sudah tertutup rapat.

Mula-mula tampak mayat pria tua itu lagi. Tapi kali ini, atas perintahku, Jhon mengeluarkan mayat Tuan Fredy dan bergerak cepat mencongkel sekat kayu di bawahnya.

Jhon terpekik.

Sudah kuduga. Nona Scott disembunyikan di situ. Di bagian peti mati paling bawah. Dengan keadaan sangat mengkhawatirkan. Tubuhnya terkulai lemas akibat kehabisan oksigen.

"Syukurlah. Ia hanya pingsan, Jhon. Tidak apa-apa," ujarku seraya membantu mengeluarkan Nona Scott dari dalam peti. Lalu menidurkannya di lantai halaman dan mengolesinya dengan minyak atsiri di sekitar hidung dan dadanya.  

Beberapa menit berselang, Nona Scott pun siuman.

***
Udara pagi ini sedang cerah. Aku tengah menikmati segelas susu hangat ketika Jhon datang berkunjung.

Sepupuku itu langsung mengambil duduk menghadap ke arahku dengan mata tak berkedip.

"Kau pasti ingin penjelasan rinci mengapa aku begitu yakin Nona Scott disembunyikan di dalam peti mati itu, bukan?" Aku membalas tatapan Jhon seraya tersenyum. Jhon mengangguk.

Aku beringsut, membetulkan letak dudukku. Lalu mulai memberitahu hal-hal sederhana yang terlintas di dalam pikiranku.

"Diawali dari penolakan Nyonya Martin, Jhon. Secara logika, jika ia tidak sedang menyembunyikan sesuatu, tentu tidak akan merasa khawatir begitu aku menyampaikan keinginan untuk memeriksa peti mati itu. Nyonya tua itu terlihat panik. Ia ingin melindungi suaminya. Dan itu terjadi secara spontan. Di luar kesadarannya."

"Lalu?"

"Lalu, otakku terus mengajak bekerja. Mataku mulai mengamati bentuk peti mati yang terlihat sangat aneh. Terutama ukurannya. Peti itu lebih tinggi dari peti mati pada umumnya."

"Hm. Itu sebabnya kau lantas mengajakku pergi menemui tukang pembuat peti mati itu?"

"Yup, betul sekali! Dari sanalah aku tahu, Tuan Martin sengaja memesan peti mati dengan ukuran khusus, lebih besar dan bersekat. Untuk apa? Pasti agar bisa memuat dua mayat sekaligus."

"Jadi pendeta itu sudah merencanakan pembunuhan terhadap Nona Scott dengan menguburnya hidup-hidup. Tapi apa motifnya?"

"Duh, sepupuku. Sepertinya kau ketinggalan banyak informasi. Nona Scott yang diberitakan hilang itu masih satu garis keturunan dengan pendeta tua itu. Nona Scott adalah anak tunggal yang mewarisi harta kekayaan amat banyak dari kedua orangtuanya yang sudah meninggal. Dan, pendeta tua itu sebenarnya mantan residivis yang tengah mengalami kesulitan ekonomi. Motifnya uang, Jhon. Uang! Bagaimana, kau mulai paham sekarang?"

Ah, kukira tak perlu menunggu Jhon mengaku paham dengan semua deduksiku. Ada hal yang lebih menarik dari sekadar membicarakan uang dan perebutan harta warisan. 

Di luar. Matahari sudah memanggil. Waktunya berjemur, Sherlick!

***
Malang, 02 Mei 2020
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun