"Mandikan aku!" serunya dengan suara bergetar. Hatiku mendadak runtuh. Jatuh berkeping-keping merupa serpihan.
Aku tak sempat mencegahnya lagi ketika kain panjang yang melilit tubuhnya perlahan ia lepaskan. Dan secepat itu pula sosoknya yang ramping sudah berdiri. Menghadapku. Polos tanpa busana.
Kusentuh pundak halus itu dengan satu tangan. Sementara tangan yang lain meraih gayung. Lalu perlahan air kembang setaman tujuh rupa kuguyurkan ke sekujur tubuhnya yang menggigil. Kuawali dari puncak kepala hingga ujung jemari kakinya yang mungil.
Airmata berjatuhan dari sudut matanya yang terpejam, bercampur dengan air yang bergelantungan di atas helai rambutnya yang basah.
Ingin sekali aku menghapus airmata itu. Tapi, tidak kulakukan.
"Kau melamun lagi, Kangmas Arjuna?" suara lembut itu membuyarkan kenangan terakhirku bersama perempuan itu.
"Maafkan aku," aku tergagap. Lalu perlahan kualihkan pandang. Menatap wajah tirus di hadapanku.
"Aku tahu kau masih mencintainya, Kangmas. Masih."
"Aku sudah melupakannya, Badra," aku berkilah.
"Tidak. Kau belum sepenuhnya melupakannya. Matamu masih menyimpan wajah cantik itu. Wajah Dewi Banowati."
***
Aku memang tidak bisa membohongi hati nuraniku sendiri. Bahwa rasa itu masih tersisa. Masih ada. Rasa cinta terhadap Dewi Banowati yang kini sudah resmi dinikahi oleh pembarep Kurawa, sepupuku, Kakang Duryudana.
Sejauh ini aku masih bisa meredam gemuruhnya perasaanku. Yang kadang timbul tenggelam. Dan, di hadapan istriku Dewi Sembadra, aku berlaku seolah dalam keadaan baik-baik saja.
Meski sebenarnya tidak demikian.
Sampai pada suatu hari, aku melihat kelebat Banowati di taman sari kaputren. Ia menyusup di antara bunga-bunga. Lalu meringkuk diam, sesenggukan.
Inilah kelemahanku. Aku selalu tidak kuasa melihat seorang perempuan menangis.
Kuhampiri Banowati yang duduk membelakangiku. Kusentuh pundaknya perlahan. Kuangkat dagunya yang runcing bak sarang lebah menggelantung itu.
"Dimas?" Ia terkejut sesaat. Matanya yang berkabut berkejap-kejap.
"Apa yang terjadi?' tanyaku lirih. Ia tidak menyahut. Bibirnya yang pucat terkatup rapat.
"Kau bertengkar dengan suamimu?" Aku berusaha menebak-nebak. Kali ini ia menggeleng.
"Tidak---lebih tepatnya belum. Tapi pertengkaran itu pasti akan terjadi, kelak jika Kangmas Duryudana menyadari bahwa bayi yang baru saja kulahirkan wajahnya amat sangat mirip denganmu."
Langit di atas kepalaku mendadak serasa runtuh.
***
Satu-satunya tempat paling aman membicarakan masalah ini hanyalah kepada Kresna. Selaku penasihat pribadi ia dengan sukarela mendengarkan semua keluh kesahku.
"Jika kenyataannya demikian, tidak ada solusi lain kecuali Dimas Arjuna harus bertanggung jawab."
"Maksud Kaka Prabu aku harus menikahi Banowati? Itu sama artinya dengan memantik api perang, Paman."
"Perang akan tetap terjadi. Dengan atau tanpa kaunikahi Banowati."
Ya. Aku paham itu. Baratayudha. Pasti itu yang sedang disinggung oleh Kresna.
"Selain menikahi Banowati, apakah ada cara lain yang bisa kulakukan?"
"Mintalah kepada dewa untuk menyulih rupa bayi itu agar tidak mirip denganmu, Nakmas. Setidaknya itu bisa menghapus jejak Skandal memalukan ini."
Sejenak aku terdiam. Kukira apa yang dikatakan Kresna ada benarnya.
Maka usai lelaki bijak itu pergi meninggalkan balairung, gegas aku menuju tempat pemujaan, bersemedi, memohon kepada dewa-dewa di kahyangan agar sesegera mungkin membantuku.
Dan, yang muncul di hadapanku adalah Bathari Durga. Raseksi jelmaan Dewi Uma.
"Nakmas, dengan senang hati aku bersedia menolongmu. Menyulih rupa anak hasil hubungan gelapmu dengan Banowati. Tapi, aku punya satu permintaan."
"Katakanlah, Dewi."
"Mandikan aku. Seperti kau memandikan Banowati."
Aku tertegun. Belum sempat menyahuti kata-kata Bathati Durga tiba-tiba terdengar seseorang berseru lantang.
"Raseksi! Hentikan penyamaranmu!"
Penyamaran?
Selanjutnya yang terjadi adalah, aku melihat Dewi Sembadra jatuh di hadapanku. Bersimbah darah. Dengan keris menancap di dadanya.
***
Malang, 10 April 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H