Rumput ilalang di halaman samping rumah sudah meninggi. Nyaris sebatas pinggang. Dan tugasku adalah memangkasnya hingga rapi. Dan itu wajib kulakukan di setiap hari Minggu. Tanpa jeda.
Jika kau berpikir sebelum memotong rumput aku mendapat jatah sarapan, itu salah besar! Mom tidak akan memberiku makan sebelum pekerjaanku selesai. Sebelum matahari membakar kulit lenganku hingga tampak bentol-bentol merah.
"Riana!"
Panggilan itu---bukan suara Mom, membuatku menoleh. Aku memutar kepalaku perlahan. Mencari asal suara.
Tapi tak kulihat siapa pun.
"Riana! Aku di sini!"
Kali ini aku melihatnya. Ia---seorang pria, berdiri di balik pagar yang dirimbuni bunga-bunga perdu.
"Jangan mendekat! Mom bisa marah jika melihatku bicara dengan orang asing!" Aku menghardik pria itu seraya mengacungkan gunting.
"Aku bukan orang asing, Riana. Aku teman baik Ibumu. Jadi kau tak perlu takut," pria itu mendekat. Benar-benar mendekat.
Dan, tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang. Sangat kencang. Ketika tangan kekar itu menyentuh pundakku, mengambil alih gunting pemotong rumput dari tanganku.
Untuk pertama kalinya aku berpikir, bahwa tidak selamanya hari Minggu itu layak disebut hari keparat.