Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Arwah Penasaran

17 Maret 2020   06:50 Diperbarui: 17 Maret 2020   08:39 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terpaksa menyerobot antrean panjang orang-orang berpakaian serba putih tak kukenal itu. Mengabaikan teriakan dan umpatan mereka.

"Hei! Kau tidak boleh seenaknya menyelonong. Belum tiba giliranmu!" Seseorang bahkan menarik rambutku hingga tubuhku nyaris terjengkang. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap nekat merandek maju ke depan.

"Tuan Malaikat Maut, beri saya penjelasan mengapa saya harus mati dengan cara seperti ini?"

Sosok yang kupanggil dengan sebutan Malaikat Maut itu menggeser duduknya sedikit.  Lalu meraih sebuah buku tebal yang tergeletak di atas meja berlapis emas.

"Siapa namamu?"

"Untung."

"Tanggal lahir? Alamat?"

"Minggu pahing, 40 tahun lalu. Saya tinggal di Kampung Melati."

"Hm. Sudah kutemukan. Kampung Melati adalah gudangnya pria berpoligami. Dan kamu, salah satu di antara mereka."

Aku terdiam. Apa yang dikatakan oleh Malaikat Maut itu benar. Aku memang melakukan praktik poligami. Aku menikahi dua orang perempuan---Anisa dan Alisa.

Tentang dua perempuan itu, bukan hanya nama mereka yang mirip, tapi wajah dan postur tubuh keduanya juga sulit dibedakan. 

Yup, benar! Mereka memang saudara kembar.

Awalnya aku menikahi Anisa terlebih dulu. Lalu selang beberapa bulan kemudian, aku harus menikahi Alisa juga. Tentang hal menikahi Alisa, kuakui, aku telah bertindak ceroboh---atau lebih tepatnya aku telah melakukan sebuah kesalahan besar. 

Aku meniduri Alisa, di suatu malam.

Kronolgi kejadiannya seperti ini. Ketika pulang dari luar kota, aku didera kelelahan yang amat sangat. Dan sedikit mabuk. Sebab sebelum pulang, kami---aku dan beberapa teman relasi kerja mengadakan pesta perpisahan di sebuah diskotek dengan minum minuman beralkohol.

Saat dalam keadaan mabuk itulah aku tidak menyadari bahwa perempuan yang tengah tidur di atas sofa ruang tamu itu adalah Alisa, adik iparku.

Malam itu aku lalai. Benar-benar lalai. Aku baru menyadari kekeliruanku setelah Anisa, istriku berdiri memergoki perbuatan tidak senonohku.

"Kau harus menikahinya, Untung. Malam ini juga!"

Lalu dipanggilnya sesepuh desa untuk menikahkan kami berdua. Aku dan Alisa. Tanpa ada kemeriahan pesta.

"Kau terlalu lama tertegun, kisanak. Sekarang katakann apa tujuanmu menghadapku?" Malaikat Maut menegurku. Aku tersadar dari lamunan panjang. Kutegakkan lagi kepalaku. Lalu mulai menyampaikan maksud kedatanganku.

"Saya hanya ingin mengajukan pertanyaan, Tuan Malaikat. Siapa Sebenarnya---salah satu dari kedua perempuan itu yang telah membunuh saya? Anisa atau Alisa?" 

Sejenak Malaikat Maut memicingkan mata. Lalu tersenyum.

"Kau penasaran?"

Aku mengangguk.

"Baiklah!"

Klik! Tangan Malaikat Maut menekan sebuah tombol.

Tiba-tiba saja terbentang layar berukuran sangat lebar di hadapanku. Lalu aku melihat diriku sendiri muncul di sana sebagai pemeran utama.

Detik kesepuluh.

Dua orang perempuan, Anisa dan Alisa menghampiriku. Mereka mengenakan busana dan cadar berwarna hitam.

Detik keduapuluh.

Dua perempuan itu mengulurkan gelas berleher panjang dengan bentuk dan ukuran yang sama, tapi berisi jenis minuman yang berbeda. Satu gelas berisi air bening dan satunya lagi berisi minuman berwarna merah pekat.

Sampai di sini aku mengernyitkan alis. Aku mulai sadar, bahwa salah satu dari minuman yang disodorkan ke arahku itu sudah dibubuhi racun.

"Bagaimana? Kau sudah paham siapa perempuan yang menjadi pembunuhmu?" Kembali suara Malaikat Maut membuyarkan konsentrasiku. Aku menggeleng.

Detik kelima puluh.

Aku menyeruput minuman yang berada dalam dua  genggaman tanganku. Secara bergantian. 

Detik keenam puluh.

Aku melihat gerakan slide beruntun pada layar proyektor. Mulai dari gelas di tanganku yang terjatuh, bibirku yang berbusa, sampai tubuhku yang mengejang lalu ambruk bergedebum di lantai.

Selanjutnya aku menyaksikan diriku tak bergerak lagi. 

Aku sudah mati.

"Cukup!" suara Malaikat Maut kembali mengagetkanku. Layar proyektor pun mendadak menghilang.

"Kau sudah melihat secara detil kronologi kematianmu. Semoga kau tidak menjadi arwah penasaran lagi," Malaikat Maut mengangkat satu tangannya.

"Tapi saya masih belum tahu, siapa yang meracuni saya, Tuan Malaikat. Anisa atau Alisa?"

Tak ada jawaban. Yang kurasa tiba-tiba saja tubuhku bergetar hebat. Lalu tersedot oleh kekuatan tak terlihat, dan terlempar dengan amat keras ke suatu tempat.

"Kang Untung! Virus Corona sudah resmi ditetapkan sebagai wabah pendemi. Mulai hari ini pemerintah kota memberlakukan sistem lockdown. Segala aktivitas umum ditutup. Termasuk area tempat  pembuangan sampah tempat kita biasa memulung."

Suara cempreng Yu Ginah membangunkan tidur siangku. Janda hitam manis itu meletakkan sepiring ubi. Lalu gegas merapikan pondok kardus yang kutempati, yang berjarak setengah meter dari rel kereta api.

Oh, iya. Tentang dua perempuan cantik bernama Anisa dan Alisa, sumpah, aku tak berani lagi memimpikannya.

***
Malang, 17 Maret 2020
Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun