Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mantan Semalam, Tiba-tiba Aku Rindu

19 Februari 2020   22:06 Diperbarui: 19 Februari 2020   22:13 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya saya tidak ingin mengaduk kembali tentang kenangan masa lalu. Tapi kisah yang akan saya bagikan ini merupakan pembuktian bahwa saya sudah move on.

Boleh dikata, saya adalah seseorang yang sulit jatuh cinta. Saya lebih senang mengejar daripada dikejar. Saya lebih memilih mencintai daripada dicintai. Ups!

Saya masih ingat, ketika teman masa kecil saya tiba-tiba menyatakan cinta, saya mendadak illfeel. Saya merasakan kebencian yang luar biasa. Tutur dan tingkah laku saya menjadi sangat kasar kepadanya. Ya, saya bisa berubah menjadi sangar hanya karena seseorang yang jatuh hati pada saya.

Tentang perubahan perilaku ini, sudah saya rasakan sejak zaman cinta monyet (SMP) hingga berseragam putih abu-abu. Tidak sedikit cowok yang saya tolak mentah-mentah bahkan harus rela menerima perlakuan kasar dari saya.

Saya masih ingat sewaktu, sepulang sekolah ada seorang teman laki-laki memberikan sebungkus cokelat. Sebagai ucapan selamat atas hari kelahiran saya. Bukannya senang, saya malah lari. Saya kabur! Dan teman laki-laki itu pun berusaha mengejar saya.

Yang ada di kepala saya saat itu adalah, "Saya sedang dikejar setan!"

Parahnya lagi, teman laki-laki itu berhasil meraih tangan saya. Dampaknya saya pun membalasnya dengan sebuah tendangan tepat pada perutnya.

Saya jahat? Ya, saya akui itu. Dan yang membuat saya semakin benci padanya, dia datang ke rumah mengadu kepada Ibu.

"Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu boleh menolak tapi tidak harus sekasar itu. Bagaimana jika karena sakit hati, kamu diguna-guna lalu menjadi gila?" tegur Ibu.

Alih-alih saya takut setelah mendengar teguran Ibu. Tidak! Kebencian saya semakin menjadi. Bahkan ketika ada dua anak laki-laki datang secara bersamaan ke rumah saya dan mereka berkelahi karena memperebutkan hati saya, saya malah asyik tidur. Cukup Ibu yang kelimpungan menjawab pertanyaan para tetangga mengenai kegaduhan itu.

Saya Mulai Belajar Mencintai

Dan inilah cerita ter-baper saya mengenai mantan. Masih terekam jelas jejak pertemuan saya dengan seseorang yang pada akhirnya berhasil membuat saya jatuh cinta.

Saat menginjak kelas 2 SMA, sahabat saya Mentari, mengajak saya untuk menonton grup band lokal yang terkenal di kalangan anak muda pada masa itu. Karena konser itu diadakan di lingkungan sekolah pada hari Minggu, saya pun mengiyakan.

Jarak antara rumah dengan sekolah cukup jauh, sekitar 30 menit ditempuh dengan sepeda motor jadul. Waktu itu Mentari mengenakan kaos putih dipadu padan dengan rok mini, tak lupa bando biru kesukaannya. Biar ada yang naksir, katanya.

Sesampainya di lapangan sekolah, Mentari buru-buru maju mendekati panggung. "Yang main drum itu Abang saya. Dan yang jadi vokalis itu pujaan hati saya," katanya sambil mesam-mesem mirip orang senewen.

Bubar konser, Mentari menghilang. Saya tak khawatir sama sekali. Paling-paling Mentari mengejar si vokalis dengan poni yang mirip sapu lidi itu.

Saya pun duduk sendirian di bangku taman, nyaris mati kutu saat melihat seorang pemuda datang menghampiri.

"Hai, saya Kumbang teman kakaknya Mentari."

"Saya Bunga."

Laki-laki itu terlihat sangat dewasa, sedikit tampan dan ramah. Sewaktu konser, saya sama sekali tidak memperhatikannya. Saya sibuk melihat tingkah polah Mentari yang lincah tak keruan.

Gara-gara Mentari pula, pemuda itu mengetahui nomor telepon rumah saya. Hampir setiap malam dia menelpon. Dan di saat malam Minggu, dia nekat bertamu ke rumah. Haduh!

Awalnya saya mencoba untuk berteman, berusaha bersikap ramah dan memperlakukannya seperti kawan saya yang lainnya. Semula semua berjalan sangat lancar---sebagai teman. Sampai suatu malam setelah dia berpamitan dan menunggu Ibu masuk ke dalam kamar, dia berhasil mengecup kening saya di ruang tamu.

Kalian tahu? Itu merupakan malam yang paling memalukan buat saya. Seluruh isi perut saya berasa ingin keluar. Saya mual setengah mati.

"Kamu mau jadi pacar saya?"

Hah? Gilakah ia? Seharusnya dia mencari perempuan yang sepantaran. Atau teman satu kantor dengan dia, bukan anak sekolahan macam saya yang masih bau kencur.

Oh, iya, Kumbang ini sudah bekerja. Usianya 5 tahun lebih tua dari saya.

Tentu saya tidak sudi memberi jawaban atas pertanyaannya yang saya anggap menyebalkan. Saya berlari ke dalam kamar, membiarkan dia sendirian di ruang tamu. Dan di hari-hari berikutnya, saya mengabaikan setiap telepon darinya. Biarlah Ibu yang menerima. Biarlah Ibu yang bingung mencari alasan.

Pemuda baik itu tidak pernah marah dengan perkataan dan sikap saya yang kasar kepadanya. Bayangkan, selama kurang lebih satu tahun. Sungguh, bukan waktu yang sebentar untuk takaran kesabaran hati.

Hingga di suatu hari, saya merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi pada diri saya. Saya mencium aroma wangi tubuhnya menguar di setiap sudut ruangan. Entah parfum apa yang ia pakai, wanginya seperti mentimun muda.

Tiba-tiba saya ingin menunggu kedatangannya, pemuda baik sialan itu! Tiba-tiba saja saya rindu.

Apa saya sedang jatuh cinta? Entahlah, saya tidak tahu.

Sore itu saya menyisir rambut berulang kali. Memoleskan bedak agar wajah tampak lebih segar. Biasanya saya tidak pernah begitu.

Sekitar pukul 7 malam, telepon rumah berdering. Saya buru-buru mengangkatnya.

"Halo."

"Bunga? Tumben kamu yang angkat. Kamu rindu, ya?"

"Jangan kepedean kamu."

Saya menjawab dengan wajah tersipu. Sejujurnya saya memang sedang rindu. Hati saya dag dig dug mendengar suaranya.

"Apa tawaran saya tahun lalu masih berlaku? Kamu mau jadi pacar saya?"

"Maksa banget sih kamu! Iya, deh, oke. Aku menerima kamu! Puas?"

Di seberang sana saya mendengar suara pemuda itu tertawa. Dan sebenarnya hati saya pun ikut tertawa.

Mendadak perasaan saya perlahan mulai menghangat. Saya merasa surprise. Duh, akhirnya malam ini saya memiliki pacar. Sungguh, seperti mimpi namun nyata adanya.

Esoknya, pagi-pagi benar Mentari mengetuk pintu rumah saya. Tidak seperti biasanya, kali ini dia datang tanpa menelpon terlebih dulu.

Saya melihat Mentari seperti sedang kebingungan. Saya menyuruhnya duduk dan memberinya secangkir teh hangat.

"Semalam Abang kecelakaan tapi keadaannya sudah membaik. Sementara temannya---Kak Kumbang, meninggal."

Deg. Saya tak ingin mempercayai kata-kata Mentari. Saya bahkan ingin menceritakan bahwa semalam saya baru saja jadian dengan Kumbang.

Tapi saya harus mendengarkan kata-kata Mentari. Saya harus ikut dengannya ke rumah duka.

Sesampainya di rumah duka, saya masih diliputi rasa tidak percaya. Meski saya sudah melihat pagar dihiasi bendera kuning. Melihat banyak orang berbaju hitam berlalu lalang dengan wajah muram. Mendengar suara tangis di dalam rumah bersahutan.

Mentari mengajak saya masuk ke dalam rumah, tapi saya menolak. Saya memilih duduk di halaman, berjajar dengan orang-orang yang sibuk bercerita tentang kenangan mereka bersama Kumbang.

Dan sejauh itu saya masih biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa terhadap 'kekasih semalam' saya itu.

Barulah ketika keranda berselimut kain hijau itu diarak keluar, dengan potret Kumbang dalam pelukan wanita setengah baya, hati saya tiba-tiba tergetar. Lalu hancur porak poranda. Saya tak dapat lagi membendung air mata. Saya menangis sejadi-jadinya.

Mentari berkali-kali menenangkan dan menyeka air mata saya. Baru kali ini saya merasakan kehilangan yang luar biasa. Begitu berat dan menyayat. Seseorang yang baik dan sabar, yang baru saja kumiliki harus kembali ke Penciptanya.

Tuhan, mengapa begitu singkat Kau menyatukan hati kami?

Namun umur memang bukan milik kita. Tuhan lebih berkuasa dan berkehendak atas diri manusia.

Hikmahnya. Sejak kepergian Kumbang, saya belajar untuk menghargai perasaan orang lain. Khususnya kaum lelaki yang menaruh hati kepada saya. Tidak sepatutnya hati para lelaki itu diabaikan, dianggap sampah.

Bukankah ketika seseorang memutuskan untuk menaruh hati, dia membawa segala hal yang baik untuk dipersembahkan kepada pujaan hati?

Boleh menolak cinta tapi jangan sampai melukai.

*

Malang, 19 Februari 2020

Sebuah curhatan tentang mantan dari Tim Kecambah: Lilik Fatimah Azzahra, Ikrom Zain, Desol

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun