"Kamu mau jadi pacar saya?"
Hah? Gilakah ia? Seharusnya dia mencari perempuan yang sepantaran. Atau teman satu kantor dengan dia, bukan anak sekolahan macam saya yang masih bau kencur.
Oh, iya, Kumbang ini sudah bekerja. Usianya 5 tahun lebih tua dari saya.
Tentu saya tidak sudi memberi jawaban atas pertanyaannya yang saya anggap menyebalkan. Saya berlari ke dalam kamar, membiarkan dia sendirian di ruang tamu. Dan di hari-hari berikutnya, saya mengabaikan setiap telepon darinya. Biarlah Ibu yang menerima. Biarlah Ibu yang bingung mencari alasan.
Pemuda baik itu tidak pernah marah dengan perkataan dan sikap saya yang kasar kepadanya. Bayangkan, selama kurang lebih satu tahun. Sungguh, bukan waktu yang sebentar untuk takaran kesabaran hati.
Hingga di suatu hari, saya merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi pada diri saya. Saya mencium aroma wangi tubuhnya menguar di setiap sudut ruangan. Entah parfum apa yang ia pakai, wanginya seperti mentimun muda.
Tiba-tiba saya ingin menunggu kedatangannya, pemuda baik sialan itu! Tiba-tiba saja saya rindu.
Apa saya sedang jatuh cinta? Entahlah, saya tidak tahu.
Sore itu saya menyisir rambut berulang kali. Memoleskan bedak agar wajah tampak lebih segar. Biasanya saya tidak pernah begitu.
Sekitar pukul 7 malam, telepon rumah berdering. Saya buru-buru mengangkatnya.
"Halo."