Dokter mencecarku dengan bermacam pertanyaan. Sejak kapan aku selalu gugup, takut, gelisah, dan histeris melihat hujan.
Kujawab, sejak aku kehilangan Nugie.
"Nugie? Siapa dia?" Dokter menatap wajahku dalam-dalam. Aku tertunduk.
Haruskah aku menceritakan tentang dia? Tentang laki-laki yang sangat kucintai. Yang hilang ditelan hujan---di suatu senja, ketika kami usai bertemu di sebuah kafe yang terletak tak jauh di ujung jalan.
"Ceritakan padaku tentang Nugie-mu itu," Dokter memundurkan sedikit punggungnya, lalu bersandar pada kursinya yang empuk. Aku masih diam tertunduk.
Nugie. Ah, ia adalah sosok laki-laki yang baik. Yang kukenal sejak satu tahun lalu di sebuah ajang pesta pernikahan salah seorang kerabat. Ketika itu Nugie menjadi salah satu pengiring yang mendampingi pengantin pria.
Kami bertatapan mata sejenak. Lalu secepat itu kami---saling jatuh cinta.
Pertemuan itu terjadi pada pertengahan bulan Februari. Bulan yang nyaris setiap hari ditumpahi oleh hujan. Sampai kemudian aku menyadari bahwa Nugie begitu sangat menyukai hujan.
Ia lelaki hujan. Aku menyebutnya begitu. Ia tampak antusias setiap kali melihat hujan turun deras mengguyur membasahi tanah.
Nyaris setiap hari sepulang dari kantor---usai menjemputku, ia selalu mengajakku duduk berdua menikmati white coffee di sebuah kafe langganan kami hanya demi menikmati gemericik air hujan.
Seperti juga senja itu.
"Hujan mengingatkanku pada banyak hal, Wid," ia berkata seraya melempar pandang ke luar jendela, menatap butiran air yang berebut jatuh.
Sembari memutar-mutar pinggang cangkir, ia mulai bercerita tentang banyak hal. Tentang masa kecilnya yang bahagia. Yang bebas berlarian di tanah lapang saat musim penghujan tiba.
"Tidak ada yang melarangku bermain air hujan, Wid. Bahkan Ibuku tertawa lebar ketika melihatku pulang dengan baju basah, kotor dan tubuh dekil," bibirnya yang manis menyungging senyum.
"Kau tidak terserang batuk atau pilek bermain hujan-hujanan seperti itu, Gie?" aku memicingkan sebelah mata, sedikit. Ia tertawa.
"Hujan tidak pernah membuatku sakit, Wid," Nugie menatapku dengan sinar mata bercahaya. "Hujan malah menjadikanku sehat dan bahagia."
Ya. hujan memang tidak pernah membuatmu sakit, Nugie. Tidak pernah! Tapi tidak di senja yang naas itu. Ia telah menciptakan rasa sakit yang teramat dalam.
Hujan telah merenggutmu dariku!
Kau terserempet mobil Avanza yang melaju dengan kecepatan tinggi saat membimbingku menyeberang jalan menuju area parkir yang terletak di depan pertokoan seberang jalan.
Dan semua terlambat  Nyawamu tidak tertolong. Hujan telah membawamu pergi. Selamanya.
Tubuhku menggigil. Aku menggeram.
"Sepertinya dosis obat pemenang harus ditambah lagi," dokter berkacamata yang berdiri tidak jauh dari ranjangku memberi perintah kepada seorang pria berseragam abu-abu. Kemudian aku melihat sebuah jarum suntik ditusukkan paksa ke salah satu lenganku.Â
Dan setelahnya aku merasakan tubuhku seperti terbang. Melayang. Tinggi jauh ke angkasa. Mencari keberadaan Nugie.
***
"Namamu Ratih Widyawati." Samar-samar aku mendengar Ibu berbisik di telingaku.
 "Ratih Widyawati?" aku berkerut kening. Ibu mengangguk.
Ah, persetan! Siapa pun namaku aku tidak peduli. Aku hanya peduli pada Nugie. Aku menginginkan ia kembali hidup. Kembali menikmati secangkir white cofee bersamaku, di suatu senja yang tak lagi diricuhi oleh hujan.
Di luar hujan turun semakin deras. Membuat dadaku berguncang hebat, sakit. Dan tubuhku berkeringat dingin.
"Aku benci hujan! Benci sekali! Hujan membuatku selalu teringat pada Nugie!" aku berteriak seraya menatap selang-selang yang bergelantungan di sekitar tubuhku
"Tidak ada pria bernama Nugie, Nduk. Itu hanya khayalanmu," kembali Ibu berbisik.
"Ini bukan khayalan, Bu! Nugie itu benar-benar ada! Ia nyata!" mataku nanar menatap wajah Ibu. Ibu menggeser tubuhnya ke samping sedikit. Lalu menoleh ke arah dua orang pria yang sejak tadi berdiri di belakangnya.
Dokter dan perawat berseragam abu-abu itu.
"Dokter Juna, sampai kapan putri saya ini mengidap penyakit ombrophobia ini?"
Dokter Juna? Seketika mataku terbelalak.
"Rusli, coba kamu cek lagi saturasi darah pasien itu," Dokter bernama Juna itu memberi perintah.
 "Ia terus saja mengingau tentang laki-laki bernama Nugie itu, Dokter. Ia bahkan merasa dirinya sudah pernah menikah, mempunyai seorang anak bernama Elang, memiliki pembantu bernama Inah---dan masih banyak lagi halusinasi-halusinasi lain yang memenuhi ruang pikirannya," suara Ibu terdengar serak.
Dokter bernama Juna itu hanya mengangkat bahu. Sementara perawat bernama Rusli perlahan mendekatiku, mengeluarkan sebuah alat untuk memeriksa denyut nadiku.
Saat itulah---ketika tangan Rusli menyentuh pergelangan tanganku, sigap aku beranjak bangun dan mencengkeram kuat-kuat lengan pria itu menggunakan tangan kanan.
"Sekarang katakan pada Ibuku, siapa di antara kalian berdua---kau atau dokter berkacamata itu, yang telah membuatku hamil!"
Kuterjang selimut yang menutupi tubuhku jauh-jauh. Kuperlihatkan perutku yang membuncit.
Lalu kulihat Ibu jatuh pingsan.
Lalu kudengar tawaku sendiri berderai pecah memenuhi ruangan.
Tamat.
***
Malang, 19 Februari 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Note: Terima kasih kepada para sahabat kner yang telah berpartisipasi ikut meramaikan Proyek Cerpen Bersambung ini.
Kisah sebelumnya
1. Pesan Cinta dari Masa Lalu_Lilik Fatimah Azzahra
3. Ropingi-
5. Kenangan yang Tak Seharusnya Datang_Ayah Tuah
6. Rahasia Elang_Anis Hidayatie
7. Terbongkarnya Rahasia Ratih_Elang Maulana
10. Jeritan Hati Ratih_Swarna Hati
11. Mengubur Masa Lalu_Listerina
13. Hujan Mengingatkan Ingatannya_EcyEcy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H