Dan setelahnya aku merasakan tubuhku seperti terbang. Melayang. Tinggi jauh ke angkasa. Mencari keberadaan Nugie.
***
"Namamu Ratih Widyawati." Samar-samar aku mendengar Ibu berbisik di telingaku.
 "Ratih Widyawati?" aku berkerut kening. Ibu mengangguk.
Ah, persetan! Siapa pun namaku aku tidak peduli. Aku hanya peduli pada Nugie. Aku menginginkan ia kembali hidup. Kembali menikmati secangkir white cofee bersamaku, di suatu senja yang tak lagi diricuhi oleh hujan.
Di luar hujan turun semakin deras. Membuat dadaku berguncang hebat, sakit. Dan tubuhku berkeringat dingin.
"Aku benci hujan! Benci sekali! Hujan membuatku selalu teringat pada Nugie!" aku berteriak seraya menatap selang-selang yang bergelantungan di sekitar tubuhku
"Tidak ada pria bernama Nugie, Nduk. Itu hanya khayalanmu," kembali Ibu berbisik.
"Ini bukan khayalan, Bu! Nugie itu benar-benar ada! Ia nyata!" mataku nanar menatap wajah Ibu. Ibu menggeser tubuhnya ke samping sedikit. Lalu menoleh ke arah dua orang pria yang sejak tadi berdiri di belakangnya.
Dokter dan perawat berseragam abu-abu itu.
"Dokter Juna, sampai kapan putri saya ini mengidap penyakit ombrophobia ini?"
Dokter Juna? Seketika mataku terbelalak.