Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Deduksi Sherlick atas Kasus Penyiraman Air Keras

30 Desember 2019   11:02 Diperbarui: 30 Desember 2019   11:19 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pinterest.com/bolin30

Pagi yang cerah ketika Jhon, sepupuku datang membawa lembaran koran yang memuat berita viral itu.

Dua anggota polisi yang diduga melakukan penyiraman air keras terhadap seorang Komisaris Polisi, tertangkap!

"Bagaimana menurutmu, Sherlick?" seperti biasa, Jhon berusaha menelisik pendapatku.

"Tidak begitu mengagetkan, Jhon. Berita yang biasa saja. Karena..."

"...karena jauh-jauh sebelumnya kau sudah memprediksi akan hal ini, bukan?" Jhon menyerobot kata-kataku.

"Kau benar sekali, Jhon. Masih ingatkah kasus yang pernah ditangani Tuan Sherlock dalam tragedi Boscombe Valley?" aku menatap Jhon tak berkedip. Sepupuku itu mengangguk lugas. 

"Yup. Dalam kasus itu, petugas sempat terkecoh dengan pengakuan si pemuda yang diduga membunuh Ayahnya." 

Itulah sebab, aku dan Jhon tersenyum begitu mengetahui dari berita, salah satu anggota polisi yang tertangkap itu sengaja meneriakkan kata-kata dengan wajah penuh amarah.

"Tolong dicatat! Saya nggak suka orang itu karena ia penghianat!"

"Celaka benar polisi yang tertangkap itu, Sherlick. Ucapannya akan semakin memperberat tuduhan bahwa ia memang pelaku utamanya," Jhon menggerutu. Aku berdiri. Membuka tirai jendela lebar-lebar. Lalu menatap jalanan yang mulai menggeliat.

"Tidak selalu begitu, Jhon. Terkadang bukti yang merujuk ke satu arah bisa saja berbelok ke arah yang berlawanan," aku menimpali dengan suara tenang.

"Jadi menurutmu ucapan oknum polisi itu?" 

"Jangan memancing-mancingku, Jhon. Tapi kalau boleh jujur, kasus ini terasa agak janggal. Maksudku---selain terlalu lama penangannya, juga...ah, sudahlah, toh pihak polisi sudah berupaya sekuat tenaga untuk menangkap siapa pelakunya. Dan kita patut mengapresiasi itu."

***

Sepeninggal Jhon, aku kembali menyimak berita yang sepekan ini hampir memenuhi halaman surat kabar di seluruh penjuru kota. Sekadar untuk memastikan, bahwa dugaanku selama ini tidak terlalu jauh melenceng.

Sejak peristiwa itu terjadi, yakni tragedi penyiraman air keras terhadap seorang penyidik berpangkat Komisaris itu menguar, otakku secara refleks ikut bekerja. Parahnya lagi, aku meyakini bahwa kasus ini bukan sekadar isu balas dendam pribadi seperti yang sengaja diucapkan oleh oknum polisi yang tertangkap itu.

Kukira persoalannya lebih dari itu. 

Ada sesuatu yang ingin dicegah. 

Entah apa. Tapi aku yakin itu pasti ada.

Aku teringat, beberapa waktu lalu sempat membicarakan hal ini bersama Jhon, saat kami duduk berdua menikmati secangkir teh di balkon apartemenku.

"Masih ingat kasus penyiraman air keras itu kan, Jhon?" aku memulai pembicaraan. Jhon terdiam sejenak. Lalu mengangguk.

"Kukira, seperti kasus-kasus yang menimpa para pemerhati HAM sebelumnya, kasus ini juga akan dibekukan karena polisi tidak mampu mengungkap siapa pelakunya," Jhon menimpali dengan wajah dingin.

"Sebaliknya, Jhon. Menurutku, akan ada pelaku yang tiba-tiba dimunculkan," aku tersenyum lebar.

Jhon menatapku tak berkedip.

"Maksudmu?"

"Ini hanya keisengan otakku saja, Jhon. Yang bertanya, bagaimana semisal pelakunya adalah salah satu anggota kepolisian itu sendiri?"

Mendengar ucapanku, Jhon langsung melepas tawa.

***  

 Mendadak pintu apartemen berderit. Wajah tirus Jhon muncul kembali.

"Sherlick! Tiba-tiba saja aku teringat prediksimu yang ini---bagaimana jika pelakunya adalah salah satu anggota kepolisian itu sendiri? Dan ternyata semua benar!"

Kali ini giliran aku yang tertawa.

"Beritahu aku, Sherlick. Mengapa kau beranggapan seperti itu? Maksudku---mengapa kau langsung bisa menebak jika pelakunya adalah oknum polisi, bukan orang awam?" suara Jhon jelas sekali dipenuhi rasa penasaran.

"Ah, Jhon. Aku menyayangkan sikapmu yang masih saja meragukan diriku. Tapi baiklah, aku tidak keberatan menjelaskan deduksiku. Kuharap setelah ini kau yakin, bahwa aku memiliki kemampuan memecahkan kasus nyaris menyamai Tuan Sherlock Holmes, guru besarku." 

Jhon berdiri di belakangku siap mendengarkan.

Dan aku segera melanjutkan kata-kataku.

"Mari kita amati sekali lagi wajah lelaki yang menjadi korban penyiraman air keras itu, Jhon. Sebelah mata mana yang paling parah terkena cairan HCL?

Jika sudah cukup, mari kita berdiskusi sejenak.

Tapi sebelum itu aku ingin mengutip kalimat yang pernah ditulis oleh Tuan Sherlock Holmes.

Ada pepatah lama yang aku percayai, bahwa kalau Anda mengabaikan sesuatu yang dianggap tidak mungkin terjadi, pada kenyataannya---bagaimana pun mustahilnya, justru itulah yang terjadi.

Lantas apa hubungannya dengan dugaanku bahwa pelakunya adalah orang dalam? Itu sangat mudah, Jhon. Aku mempelajari kronologi penyiraman air keras yang terjadi dua setengah tahun lalu di subuh dini hari itu. 

Coba perhatikan.

Dua orang pelaku menguntit dari belakang dengan mengendarai motor. Lalu salah seorang menyiramkan cairan air keras ke arah wajah Komisaris Polisi itu. Tepat di kedua matanya. Menurutmu, apakah orang awam bisa melakukan gerakan sesigap itu?"

Aku berjalan menuju meja. Lalu menuang segelas air mineral dari dalam botol. Jhon masih berdiri di belakangku.

"Bisakah kau mempraktikkan penyiraman itu, Jhon?  Dengan segelas air ini ke wajahku."

Jhon segera tanggap.

Aku berbalik badan. Dan Jhon melakukan sesuai dengan apa yang kuperintahkan. Ia menyiramkan air mineral tepat ke wajahku.

"Good job, Jhon! Kau melakukannya dengan sangat baik. Sigap dan tepat. Kau tahu kenapa? Karena kau adalah mantan tentara yang telah dididik dan dilatih untuk tidak ragu-ragu dalam melakukan suatu tindakan," aku tersenyum puas sembari menyeka wajahku yang basah.

"Sekarang giliranku. Aku akan menyiram wajahmu dengan air mineral ini." Aku meminta Jhon membelakangiku.

Dan, lihatlah! Aku melakukannya tidak sebaik Jhon. Ada keraguan dalam gerakanku. Tentu saja itu membuat arah siramanku tidak tepat sasaran. Muncratan air justru lebih banyak mengenai leher Jhon.

"Kau paham sekarang, Jhon?" aku mengedipkan sebelah mataku. 

Jhon mengangguk.

Dan sebelum sepupuku itu berkata apa-apa, buru-buru aku melempar handuk kecil ke arahnya. Lalu berbisik, "Jangan memintaku untuk menjelaskan deduksiku lebih jauh lagi, Jhon. Biarkan polisi menemukan sendiri siapa dalang di balik kasus penyiraman air keras itu..."

***

Malang, 30 Desember 2019

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun