Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel [6] Goodbye Nightmare! | Perang Baru Saja Dimulai, Sayang

17 Desember 2019   06:47 Diperbarui: 17 Desember 2019   06:54 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: JK Manale on pinterest.com

Bag-6

Perang Baru Saja Dimulai, Sayang

-------

Wooden House mulai diselimuti kabut pekat. Beberapa penghuninya, yang masih terjaga menyalakan pediangan untuk menghangatkan badan. Sementara beberapa yang lain memilih meringkuk di balik selimut melanjutkan menikmati mimpi.

Inta berkali melirik ponsel yang sengaja diletakkan tak jauh dari bantalnya. Tidak ada pesan masuk. Ia lalu memutuskan untuk tidur setelah terlebih dulu menghidupkan ringtone sebagai penanda jika sewaktu-waktu ada seseorang yang menghubunginya.

Baru beberapa menit memejam mata, ponsel bergetar-getar disertai bunyi alarm yang ribut. Inta menggeliat. Tangannya yang putih meraih benda elektronik mini itu. Setengah mengantuk dibacanya pesan yang baru saja terkirim.

Yup! Oke.

Hanya itu. Inta mengamati nomor pengirimnya, menunggu beberapa saat. Tapi hingga kantuk menyerangnya kembali, tidak ada pesan yang diterimanya lagi.

Diletakkannya ponselnya begitu saja. Lalu ia melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu.

Esoknya, gadis itu bangun kesiangan. Ketukan halus petugas hotel yang mengantarkan sarapan membuatnya agak malas menyibak selimut.

Ia membuka pintu kamarnya sedikit. Menerima piring dengan tangan agak gemetar. Usai mengucap terima kasih---pada pria muda berseragam yang berdiri di hadapannya, ia kembali menutup pintu.menuju ranjang, dan merebah.

Sepagi ini ia belum berkeinginan untuk menyentuh makanan atau melakukan aktifitas lain. Ia masih ingin memanjakan diri di atas kasur, menikmati udara pegunungan yang sudah sekian lama tak dirasakannya.

Sesaat ia teringat. Semalam ia hanya sempat membaca satu pesan. Diraihnya ponsel yang telah berpindah tempat di atas meja.

Hutan Pinus. Hijau. Coklat memang selalu manis sayang...

Inta mengernyit alis. Sesaat. Tapi beberapa detik kemudian bibir pucat tak berlipstik itu melengkung. Menyungging seulas senyum.

***

Deborah menghubungi nomor Inta, menelpon kakak sahabatnya itu dan mengabarkan bahwa sejak semalam ia telah kehilangan kontak dengan Laqiuta.

"Kupikir ia malah sedang bersamamu, Deb," Inta membalas telpon Deborah. Ia baru saja menghabiskan sarapan paginya dan berniat untuk keluar kamar.

"Kau punya nomor Quit yang lain?" suara Deborah terdengar agak cemas.

"Tidak, Deb. Aku tahu adikku itu tidak suka berganti-ganti nomor."

Percakapan mendadak terputus. Ponsel Inta mengalami lowbat.

***

Sementara di seberang sana---di seputar halaman kampus, Deborah terlihat masih gelisah. Pagi-pagi sekali ia telah menerima pesan singkat dari seseorang yang mengaku sebagai Jeremy.

Nona Quit. Ia dalam kekuasaanku. 

an. 

Jeremy

Sekali lagi Deborah membaca pesan singkat itu. Ia berusaha bersikap tenang. Tidak ingin termakan oleh pesan-pesan yang menurutnya dikirim oleh orang iseng yang tidak bertanggung jawab.

Ia hampir mematikan ponselnya ketika benda mungil itu bergetar lagi.

Sebuah pesan kembali masuk. Pesan yang disertai pict mengejutkan.

Deborah terpekik.

Laquita!

Sahabatnya itu terikat tak berdaya di atas sebuah kursi roda.

***

Deborah berjalan terhuyung meninggalkan halaman kampus. Pikirannya risau. Ia bahkan tidak memperhatikan sosok Ron yang berlari-lari kecil mengejarnya.

"Deb!"

Deborah menoleh.

"Mana Laquita?" Ron terengah. Deborah terpaksa menghentikan langkah.

"Kukira ia sedang dalam masalah, Ron," tanpa sadar Deborah mengucapkan kata-kata itu.

"Ada kejadian serius, Deb?"

Deborah menyodorkan ponselnya ke arah Ron dengan tangan gemetar.

"I-tu Laquita, Ron."

Ron meraih ponsel dengan sigap, mengamati foto yang terpampang di sana.

"Iya, Ron. Itu Quit!" kembali Deborah berseru, gadis itu tak mampu menyembunyikan kepanikannya lagi.

"Dari mana kau dapatkan foto ini, Deb?"

"Dari orang yang mengaku---bernama Jeremy."

"Mengaku Jeremy? Pacar Laquita itu?"

Deborah mengangguk.

"Sudah kuduga. Orang bernama Jeremy itu pastilah bukanlah orang baik-baik."

"Jangan men-judge orang sebelum kau benar-benar mengenalnya, Ron!"

"Kalau dia baik, pasti tidak keberatan melepas topengnya!"

"Kau tidak paham apa artinya saling menghargai komitmen, Ron."

"Komitmen apa?"

"Ah, kukira kau tidak berhak tahu urusan mereka."

"Aku harus tahu, Deb! Ini menyangkut keselamatan Laquita. Kau tahu kenapa? Sebab aku..."

"Sebab kau suka padanya, kan? Sudah kaukatakan berulang kali mengenai hal itu padaku, Ron. Tapi sekali lagi kuberitahu. Hati Laquita bukan untukmu. Ia hanya mencintai Jeremy. Kau harus paham itu!" Deborah sengaja menekankan kata-katanya. Ia mulai tidak suka Ron terlalu dalam mencampuri urusan Laquita.

Ron terdiam. Meski ia tidak bisa menyembunyikan semburat merah yang menguar dari pori-pori wajahnya. Dan Ron merasa yakin---sampai detik ini ia tetap berusaha terlihat baik-baik saja.

***

Deborah mendapat satu pesan lagi. Masih dari orang yang sama, yang mengaku bernama Jeremy itu.

Hutan pinus. 

Perang baru saja dimulai, sayang...

Bersambung...

***

Malang, 17 Desember 2019

Lilik Fatimah Azzahra

Kisah sebelumnya:

Novel 1

Novel 2

Novel 3

Novel 4

Novel 5

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun