"Belum lulus Mas. Gugur di tinggi badan. Cuma kurang beberapa senti," wanita itu tertunduk malu-malu.
"Nggak apa-apa, Dik. Masih ada jurusan lain yang bisa diambil," laki-laki itu memberi semangat seraya melingkarkan tangan pada pundak istrinya.
"Sebenarnya aku kurang berminat masuk perawat, Mas. Tapi orang tuaku memaksa."
"Sama Dik, aku juga kurang minat masuk Militer, tapi Bapakku ingin agar aku mendaftar. Yah, jadinya aku tidak bisa lolos."
"Wah, kita sama-sama korban obsesi orangtua ya, Mas. Kelak kalau kita punya anak jangan sampai seperti itu. Biarkan anak-anak kita menentukan sendiri pilihan hidupnya," wanita itu menatap lembut sang lelaki.
"Iya, Dik. Kasihan anak-anak kita. Mereka bisa mengalami stres."
Nah, tepat di  obrolan yang terakhir ini, Tari keluar dari kamarnya bermaksud menemui kedua orangtuanya. Ia terkejut melihat Papa dan Mamanya duduk berdampingan dengan akur.
Aku melongokkan wajah di ambang pintu. Dan Tari melihatku.Â
Tapi sebelum gadis remaja itu menghampiriku untuk mengucapkan sesuatu, aku sudah menghilangkan diri.
Cliing!
Sebuah kertas melayang jatuh di dekat kaki Tari.