"Jangan biasakan makan di luar! Itu pemborosan!" sang istri mulai tersinggung.
" Sekali-sekali menyenangkan anak sendiri kenapa? Kamu saja yang pelit!" sang suami mulai naik pitam.
"Apa katamu? Aku pelit? Bukannya kamu yang pelit? Mana pernah kamu mengajak aku makan di luar? "
"Dasar ibu-ibu pikun! Minggu lalu aku sudah mentraktir kamu di resto seberang jalan itu. Ingat-ingat, dong!"
"Apa katamu? Tadi kamu bilang aku pelit! Sekarang kamu katakana aku ibu-ibu pikun! Lalu kamu sendiri apa?"
"Sudah! Hentikan!" pekik Tari kesal. Ia menatap tajam ke arah Papa dan Mamanya bergantian. Wajahnya memerah menahan tangis. Lalu berlari masuk ke dalam kamar dan mengunci diri.Â
Aku yang sejak tadi berdiri termangu di teras rumah mulai paham. Mengapa Tari tumbuh menjadi gadis pemurung begitu.
"NOSTALGIUS!" Â Â
Setengah bergumam aku menyihir pikiran kedua suami istri itu untuk kembali ke masa muda mereka.
"Mas Haryono, panjenengan mau minum apa?" tiba-tiba wanita itu menoleh dan menatap suaminya sembari tersenyum.
"Oh, Dik Puji, tidak usah repot-repot. Air putih saja juga boleh," laki-laki itu membalas senyum istrinya. "Bagaimana Dik Puji, ujian perawatnya lulus?"Â