Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jarik Sidomukti

4 Oktober 2019   05:42 Diperbarui: 4 Oktober 2019   05:46 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:goresancanting.blogspot.com

Seminggu sebelum acara pertunangan, Simbah Putri wanti-wanti agar Handoko---calon suamiku tidak lupa menyertakan jarik atau kain panjang Sidomukti sebagai salah satu hantaran nanti. Menurut Uti--demikian aku memanggilnya, Jarik Sidomukti mengandung falsafah hidup yang amat dalam. Yakni harapan akan terwujudnya kemuliaan dan kebahagiaan lahir batin.

"Menikah itu ibarat orang babat alas, Nduk. Banyak rintangan dan sisik melik yang harus disingkirkan. Dan keberadaan Jarik Sidomukti dalam prosesi adat Jawa sangat dipecaya sebagai tolak bala. Turuti saja apa kata Simbahmu, ya, Jeng. Ibu dulu juga melakukan hal yang sama," Ibu yang berdiri tepat di belakangku menambahkan. Aku mengangguk. 

Tentu saja sebagai gadis yang terlahir di lingkungan yang masih memegang erat budaya dan tradis leluhur, mau tidak mau aku harus patuh. Apalagi aku berkaca pada kehidupan Simbah Putri dan Simbah Kakung yang adem ayem hingga mereka dipisahkan oleh umur.

Demikian juga rumah tangga Ayah dan Ibuku. Mereka bisa melewati semua masalah dengan baik. Sampai Ayahku meninggal beberapa tahun silam akibat serangan jantung. 

Saat bertemu Handoko, aku menyampaikan perihal Jarik Sidomukti itu, yang wajib ada di antara hantaran lamaran yang lain.

"Tapi Jeng, hantaran lamaran sudah dibungkus rapi. Semua sudah siap," Handoko menatapku dengan kening berkerut.

"Masih ada waktu untuk membelinya, bukan?" aku balas menatapnya.

"Masalahnya..." Handoko tampak ragu.

"Baiklah. Kalau kau keberatan, kau bisa mengabaikannya. Hanya saja, jangan kaget kalau nanti terjadi apa-apa dalam kehidupan rumah tangga kita," aku berkata setengah mengancam. Handoko terperangah.

"Sebentar, Jeng. Jangan emosi begitu. Baiklah. Aku akan menambahkan Jarik--apa namanya tadi?"

"Jarik Sidomukti."

"Ya, Jarik Sidomukti. Aku akan membelinya sekarang juga!"

***

Jika kemudian usai menikah aku masih saja menyimpan Jarik Sidomukti itu baik-baik dan setiap malam memakainya sebagai sembong yang memlilit erat pada tubuhku saat aku tidur, kurasa Handoko sangat maklum. Ia hanya tertawa melihat kelakuanku.

Simbah Putri benar. Keberadaan Jarik Sidomukti memang membawa berkah. Karir Handoko semakin maju. Sementara aku, di bulan kelima pernikahan perutku mulai berisi.

Tapi seperti yang pernah disampaikan oleh Ibu, bahwa pernikahan itu ibarat babat alas. Akan ada semak dan onak duri yang menghalangi. Akan ada masalah yang harus siap dihadapi.

Menginjak usia kehamilan ketujuh, entah mengapa firasatku mengatakan ada yang berubah pada diri Handoko. Ia mulai sering pulang terlambat. Jika kutanyakan penyebabnya, ia beralasan sedang ada lembur.

Keadaan semacam ini tentu saja membuat hari-hariku berubah murung. Aku jadi kurang bersemangat. 

Sampai suatu pagi tanpa sengaja aku menemukan secarik kertas, bukti pembayaran yang terjatuh dari saku celana Handoko. Semula aku mengabaikannya. Tapi setelah mencermati struk tersebut baik-baik, hatiku mendadak berdegup kencang.

Bukti pembayaran minum untuk dua orang. Dua orang? Rasa cemburu mulai menguasai hatiku.

"Jeng?" suara Handoko mengagetkanku. "Kulihat sejak tadi kau melamun."

"Oh, aku hanya sedang berpikir. Apa sebaiknya aku pulang saja ke rumah Ibu sampai aku melahirkan?" ujarku tanpa berpaling wajah. Sepertinya Handoko merasakan perubahan pada nada suaraku. Ia mendekat. Lalu mengelus lembut perut buncitku.

"Ada apa, Jeng? Apa aku telah berbuat salah?"

Aku terdiam.

"Baiklah. Kalau kau kangen pada Ibu, aku bisa mengantarmu pagi ini sebelum berangkat ke kantor," Handoko mengangkat wajahku. Mendadak tawanya pecah.

"Wajahmu memerah, Jeng! Seperti udang rebus. Itu berarti kau sedang marah padaku," ujarnya di sela-sela tawanya. Aku masih terdiam.

Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku itu, begitu tawanya mereda ia berjalan menuju lemari pakaian di seberang ranjang. Lalu membawa sesuatu ke hadapanku.

"Aku masih ingat pesan Simbah Putri saat kita menikah, Jeng. Beliau bertutur begini; Han, jika istrimu marah atau bersedih, selimuti ia dengan Jarik Sidomukti itu. Lalu kecup ubun-ubunnya tiga kali. Pasti marah atau sedihnya akan hilang," Handoko membuka lipatan jarik di tangannya dan menyampirkannya di atas pundakku.

"Oh, iya. Satu lagi aku lupa mengatakan ini, tadi malam aku telat pulang karena ada meeting dengan relasi kerja, seorang pria berkebangsaan asing. Kami minum kopi berdua di sebuah kafe. Nama pria itu Michael." 

Aku masih terdiam. Dan saat Handoko mengecup lembut ubun-ubunku, kertas kecil dalam genggaman tanganku sudah merupa gumpalan kecil yang siap kulemparkan ke luar jendela.

Bau harum Jarik Sidomukti seketika menguar memenuhi ruang kamarku. Aku seperti melihat wajah Simbah Putri, wajah Ibu, juga wajah mungil bayiku yang dua bulan lagi akan lahir. Wajah-wajah yang tersenyum sumringah di hadapanku.

Perlahan kulilitkan Jarik Sidomukti yang tersampir di pundak pada perutku yang membusung sembari menatap malu-malu ke arah Handoko. Lalu kucium punggung tangan suamiku berlama-lama.

Bukan karena Jarik Sidomukti akal sehatku telah kembali. Bukan. Bukan karena itu. Melainkan karena Handoko telah berusaha menjadi suami yang baik, suami yang senantiasa menjaga hati istrinya dengan kejujuran. Bukankah kejujuran merupakan salah satu kunci langgengnya sebuah pernikahan?

***

Malang, 04 Oktober 2019

Lilik Fatimah Azzahra

 

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun