"Ya, Jarik Sidomukti. Aku akan membelinya sekarang juga!"
***
Jika kemudian usai menikah aku masih saja menyimpan Jarik Sidomukti itu baik-baik dan setiap malam memakainya sebagai sembong yang memlilit erat pada tubuhku saat aku tidur, kurasa Handoko sangat maklum. Ia hanya tertawa melihat kelakuanku.
Simbah Putri benar. Keberadaan Jarik Sidomukti memang membawa berkah. Karir Handoko semakin maju. Sementara aku, di bulan kelima pernikahan perutku mulai berisi.
Tapi seperti yang pernah disampaikan oleh Ibu, bahwa pernikahan itu ibarat babat alas. Akan ada semak dan onak duri yang menghalangi. Akan ada masalah yang harus siap dihadapi.
Menginjak usia kehamilan ketujuh, entah mengapa firasatku mengatakan ada yang berubah pada diri Handoko. Ia mulai sering pulang terlambat. Jika kutanyakan penyebabnya, ia beralasan sedang ada lembur.
Keadaan semacam ini tentu saja membuat hari-hariku berubah murung. Aku jadi kurang bersemangat.Â
Sampai suatu pagi tanpa sengaja aku menemukan secarik kertas, bukti pembayaran yang terjatuh dari saku celana Handoko. Semula aku mengabaikannya. Tapi setelah mencermati struk tersebut baik-baik, hatiku mendadak berdegup kencang.
Bukti pembayaran minum untuk dua orang. Dua orang? Rasa cemburu mulai menguasai hatiku.
"Jeng?" suara Handoko mengagetkanku. "Kulihat sejak tadi kau melamun."
"Oh, aku hanya sedang berpikir. Apa sebaiknya aku pulang saja ke rumah Ibu sampai aku melahirkan?" ujarku tanpa berpaling wajah. Sepertinya Handoko merasakan perubahan pada nada suaraku. Ia mendekat. Lalu mengelus lembut perut buncitku.