Bagi warga Kota Malang dan sekitarnya, nama Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun sudah tidak asing lagi. Padepokan yang berlokasi di daerah Pakis Aji, tepatnya di Jalan Prajurit Slamet 79 Dukuh Kedung Monggo ini, memang merupakan salah satu pusat seni pembuatan topeng malangan yang patut diperhitungkan.
Sabtu kemarin, ditemani anak-anak, saya menyempatkan diri berkunjung ke sana. Dan rasa takjub sontak menghinggapi perasaan saya begitu memasuki area padepokan yang asri.
Antara Mbah Karimun dan Handoyo, Generasi ke-5 Padepokan Seni Topeng Malangan Asmoro Bangun
Sementara anak-anak heboh melihat-lihat karya seni topeng dengan beragam ekspresi yang dipajang di sana sini, saya memilih duduk meringkuk di sebuah kursi yang terbuat dari bambu. Mengamati seorang lelaki muda berwajah tenang duduk di atas dingklik kecil. Ia tampak sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran kami--tamu-tamunya.
Lelaki itu asyik berkutat dengan pekerjaannya. Jemarinya yang lincah sibuk mengecat topeng-topeng mini yang bergeletakan di hadapannya. Ia terampil melukis alis. Menggores kumis. Dan sesekali bibirnya tersenyum melihat keriuhan anak-anak yang berebut mencoba mengenakan topeng-topeng hasil karyanya.
Saya pun akhirnya tidak tahan untuk tidak membuka percakapan dengan lelaki muda tersebut.
Namanya Handoyo. Usianya 42 tahun. Handoyo merupakan generasi ke-5 dari urutan silsilah pemilik Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun yang didirikan sejak tahun 1990 ini.
Menurut Handoyo, seni topeng malangan ini pernah mencapai masa kejayaannya di tangan sang kakek---Mbah Karimun (alm) yang memegang padepokan pada tahun 2007. Bahkan Mbah Karimun satu-satunya seniman yang mendapatkan gelar sebagai Maestro Topeng Malangan yang pernah ada di zamannya.
Ada hal yang menarik saat mencermati sosok Handoyo, cucu paling bungsu Mbah Karimun ini. Dari segi penampilannya. Ia terlihat biasa saja. Sekilas tidak menampakkan bahwa dirinya adalah seorang seniman.
Namun di balik kesederhanaannya itu, Handoyo ternyata memiliki jiwa seni yang luar biasa. Ia seorang seniman yang serba bisa. Handoyo tidak saja mewarisi keterampilan memahat seni topeng, tapi ia juga menguasai seni tari topeng malangan secara piawai.
"Pada awalnya saya adalah seorang penari topeng. Sampai suatu hari Mbah Karimun menyampaikan amanat kepada saya. Bahwa dalam menggeluti dunia seni, jangan hanya menguasai satu bidang saja. Belajarlah hal yang lain. Kembangkan sayap seluas-luasnya," imbuh lelaki yang mampu membuat topeng malangan ini sebanyak 20 buah dalam sehari.
Sungguh mencengangkan. Di era generasi milenial seperti ini, di mana sebagian besar paramuda cenderung tergiur bekerja di perkantoran atau perusahaan, Handoyo tidak ragu menjatuhkan pilihannya pada dunia seni yang diwariskan oleh kakeknya.
Seni Itu Tumbuh di Dalam Jiwa Bukan pada Penampilan
Handoyo tertawa ketika saya menanyakan mengapa ia tidak memanjangkan rambutnya atau berpenampilan ala para seniman yang serba nyentrik.
"Saya ingin tampil apa adanya. Karena bagi saya seni itu tumbuh di dalam jiwa. Tanpa harus menunjukkan diri yang sok nyeni seorang seniman sejati mampu menunjukkan siapa dirinya." Begitu tutur lelaki yang pernah mengawal rombongan anak didiknya ini tampil menari topeng atas undangan pemerintahan negara Rusia dan Thailand.
Dan ketika saya bertanya tentang kendala apa yang saat ini dihadapi dalam rangka mempertahankan dan melestarikan warisan seni pembuatan topeng malangan ini, Handoyo menyahut,Â
"Sulitnya memperkenalkan dunia seni ini kepada paramuda. Kebanyakan dari mereka berpikir tentang besar kecilnya penghasilan. Tidak yakin bahwa seni bisa menghasilkan uang selayaknya pekerjaan di bidang lain. Padahal kalau boleh jujur, dengan usaha pembuatan seni topeng ini saya sudah berhasil mematahkan paradigma tersebut."
Dengan sedikit bergurau Handoyo menyebutkan nilai nominal yang cukup fantastis dari hasil jerih payahnya menggeluti dunia pertopengan ini. Handoyo kemudian menyebutkan harga-harga yang dipasang untuk satu buah topeng hasil karyanya.Â
Topeng yang berukuran besar dipatok harga kisaran 200- 300 ribuan. Tergantung model pesanan. Sedang yang berukuran kecil, semacam gantungan kunci atau souvenir, ia memberi harga mulai dari 50 ribu perbuah.Â
Handoyo mengaku tidak pernah sepi dari job. Hampir setiap hari ia mendapat pesanan dari berbagai kalangan. Tidak jarang warga negara asing juga membeli topeng-topeng hasil karyanya.
Sayangnya, Handoyo sampai detik ini hanya dibantu oleh satu orang pekerja saja, yakni keponakannya sendiri---Bayu, yang bertugas mengukir bagian atas kepala topeng-topeng.
"Padahal saya sudah membuka kesempatan lebar-lebar untuk siapa saja, terutama para kaum muda di sekitar tempat tinggal saya untuk belajar membuat seni topeng malangan ini. Tapi, ya, begitulah, justru yang banyak datang untuk belajar mereka yang berasal dari luar kota," ujarnya dengan wajah agak murung.
Saya terdiam. Mendadak saya ikut merasa was-was. Akankah mata rantai kelak terputus hanya sampai pada sosok Handoyo? Jika sekiranya upaya menghidupkan seni budaya topeng malangan ini benar-benar tidak ada lagi generasi yang berminat melanjutkan?
Handoyo boleh jadi sudah berusaha memperkenalkan kesenian ini ke sekolah-sekolah menengah kejuruan atau lembaga-lembaga pelatihan di seluruh penjuru Kota Malang. Namun kembali lagi, seorang Handoyo tidak mungkin mampu berjuang sendirian tanpa adanya dukungan dan keikutsertaan dari pihak-pihak terkait yang berkompeten di bidangnya.
Ekspresi Unik dan Karakter Topeng Malangan Panji
Topeng malangan Kedung Monggo ini identik dengan sebutan topeng Panji. Bagi para penikmat sejarah tentu sudah tidak asing lagi dengan nama Panji, tokoh terkenal dalam sejarah kerajaan Kediri.
Yup. Panji Inu Kertapati alias Raden Panji Asmoro Bangun dalam catatan sejarah adalah putra mahkota dari kerajaan Jenggala. Kisah Panji Asmoro Bangun ini melegenda karena kisah percintaannya bersama Dewi Sekar Taji, putri dari kerajaan Kediri. Kisah asmara dua sejoli dari kerajaan yang sedang bermusuhan ini mampu menjadi inpirasi bagi para seniman Malang dan sekitarnya. Kisah tersebut kemudian diabadikan dalam bentuk karya seni berupa seni topeng dan juga sendra tari.
Pada pembuatan topeng Panji Kedung Monggo, dikenal sebanyak 74 karakter. Menurut Handoyo, karakter-karakter tersebut dibuat berdasarkan peran tokoh yang akan dimainkan. Ada karakter protagonis, antagonis dan tokoh jenaka.
Demikian pula dengan pewarnaannya. Setiap warna yang diulaskan pada wajah topeng menyiratkan simbol yang berbeda. Semisal warna putih sebagai simbol kesucian, warna hijau simbol keteduhan, biru dan hitam menenangkan, merah lambang keberanian dan kuning lambang kebijaksanaan.
Gelar Tari Topeng Malangan Sebagai Eksistensi Melestarikan Warisan Budaya Leluhur
Kita--saya dan Anda, sudah sepatutnya beracung jempol dan memberi apresiasi atas dedikasi para seniman semacam Handoyo ini. Karena di tangannya warisan nenek moyang tetap terjaga dan terus bertahan hidup.
"Pada hari-hari tertentu, kami rutin mementaskan tari topeng malangan ini. Dan insya Allah, pada tanggal 18 Agustus mendatang akan ada pagelaran sendratari topeng Panji di padepokan ini," Handoyo menyampaikan berita gembira dengan wajah sumringah.
Sebelum pamit, saya berjanji akan mengusahakan hadir untuk menikmati pagelaran tari spektakuler tersebut. Barangkali hanya itu yang bisa saya lakukan sebagai wujud penghargaan dan kekaguman saya atas perjuangan Handoyo---seorang anak bangsa yang gigih melestarikan warisan budaya leluhurnya.
Apakah Anda juga berminat ikut hadir dan duduk di barisan paling depan bersama saya?
***
Malang, 28 Juli 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H