Masih menurut Refly, perkara yang dibawa ke Peradilan Internasional biasanya terkait kasus pelanggaran HAM dan genosida. Selain itu belum ada yurisprudensi peradilan internasional seperti International Criminal Court (ICC) dalam menangani sengketa pemilu suatu negara.
Refly kembali menegaskan, ICC hanya memiliki kewenangan menangani perkara pidana di suatu negara bila pengadilan di dalamnya tidak berfungsi dengan baik lantaran ditekan oleh penguasa. Sementara Refly melihat dalam memutuskan sengketa Pilpres 2019 kemarin, MK sama sekali tidak mengalami tekanan dari pihak mana pun.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Refly, Profesor Mahfud MD juga ikut menuturkan bahwa sengketa Pilpres di suatu negara tidak bisa dibawa sampai ke ranah peradilan Internasional.
Sepengetahuan Profesor Mahfud MD pengadilan internasional hanya melayani soal sengketa antar negara seperti konflik dan peradilan kriminal internasional, yakni International Criminal Court di Den Haag, Belanda, yang mengadili sengketa kejahatan kemanusiaan seperti kejahatan perang dan pemusnahan etnis atau genosida.
"Tidak mungkin urusan Pemilu itu dibawa ke negara lain, PBB dan sebagainya. Kita sudah punya perangkat hukum, ada Bawaslu dan DKPP, ada pengadilan pidana dan ada Mahkamah," jelas mantan ketua MK ini dengan tegas.
Semoga apa yang disampaikan oleh para pakar tidak hanya didengar oleh pihak yang tidak terpuaskan oleh hasil keputusan Mahkamah Konstitusi yang baru lalu. Namun juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Mau terus maju ke tingkat peradilan Internasional ataukah mau memajukan bangsa Indonesia hingga sejajar dengan dunia Internasional?
***
Malang, 29 Juni 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H