Mahkamah Konsitusi, Kamis, 27 Juni 2019 telah resmi mengetukkan palu. Menyatakan menolak semua gugatan tim hukum kubu paslon 02 dan itu berarti menetapkan kemenangan di pihak Jokowi.
Tentu saja kita merasa bersyukur karena gonjang-ganjing Pilpres 2019 akhirnya bisa terselesaikan. Meski seperti yang diungkapkan oleh Ketua Hakim MK, Anwar Usman saat membuka sidang putusan, bahwa hasil sidang tidak akan bisa memuaskan semua pihak.
Prabowo Subianto Menghormati Keputusan Hakim MK tetapi...
Usai putusan sidang MK ditetapkan dan sidang resmi ditutup, tak berapa lama Prabowo Subianto selaku capres nomor urut 02 menyampaikan pidato di kediamannya, Jalan Kertanegara. Didampingi dan disaksikan oleh Sandiaga Uno selaku cawapres dan beberapa elit politik partai.
Dalam pidatonya yang singkat tersebut Prabowo Subianto menyatakan bahwa pihaknya menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi dan mematuhi jalur hukum konstitusi sesuai dengan UUD 1945 dan sistem perundang-undangan yang diberlakukan.
"Walaupun kami mengerti bahwa keputusan tersebut sangat mengecewakan para pendukung Prabowo -Sandi, Partai Koalisi Indonesia Adil Makmur, dan mengecewakan kami sendiri, serta seluruh tim pemenangan kita, namun kita semua sepakat akan tetap patuh dan mengikuti jalur konstitusi kita yaitu UUD RI 1945 dan sistem perundang-undangan." Demikian cuplikan pidato Prabowo pada Kamis malam (27/6/2019).
Ada hal menarik dari kelanjutan pidato capres nomor urut 02 tersebut. Bahwa sekalipun menyatakan menerima keputusan Mahkamah Konstitusi, tetapi pihaknya akan berkonsultasi dengan tim hukum untuk meminta saran dan pendapat, apakah masih ada hukum dan langkah lain yang mungkin masih bisa ditempuh.
Apakah ini berarti kubu Prabowo belum bisa menerima sepenuhnya kekalahan mereka?
Jika kemudian muncul wacana kubu Parbowo Subianto akan maju ke peradilan tingkat Internasional, hal ini membuat beberapa pakar angkat bicara.
Seperti Refly Harun, pakar hukum tata negara ini ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (28/6/2019) menegaskan, bahwasanya sengketa pemilu tidak dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
"Ya enggak bisa mengajukan sengketa pilpres ke Mahkamah Internasional-lah," ujar pria kelahiran Palembang ini.
Masih menurut Refly, perkara yang dibawa ke Peradilan Internasional biasanya terkait kasus pelanggaran HAM dan genosida. Selain itu belum ada yurisprudensi peradilan internasional seperti International Criminal Court (ICC) dalam menangani sengketa pemilu suatu negara.
Refly kembali menegaskan, ICC hanya memiliki kewenangan menangani perkara pidana di suatu negara bila pengadilan di dalamnya tidak berfungsi dengan baik lantaran ditekan oleh penguasa. Sementara Refly melihat dalam memutuskan sengketa Pilpres 2019 kemarin, MK sama sekali tidak mengalami tekanan dari pihak mana pun.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Refly, Profesor Mahfud MD juga ikut menuturkan bahwa sengketa Pilpres di suatu negara tidak bisa dibawa sampai ke ranah peradilan Internasional.
Sepengetahuan Profesor Mahfud MD pengadilan internasional hanya melayani soal sengketa antar negara seperti konflik dan peradilan kriminal internasional, yakni International Criminal Court di Den Haag, Belanda, yang mengadili sengketa kejahatan kemanusiaan seperti kejahatan perang dan pemusnahan etnis atau genosida.
"Tidak mungkin urusan Pemilu itu dibawa ke negara lain, PBB dan sebagainya. Kita sudah punya perangkat hukum, ada Bawaslu dan DKPP, ada pengadilan pidana dan ada Mahkamah," jelas mantan ketua MK ini dengan tegas.
Semoga apa yang disampaikan oleh para pakar tidak hanya didengar oleh pihak yang tidak terpuaskan oleh hasil keputusan Mahkamah Konstitusi yang baru lalu. Namun juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Mau terus maju ke tingkat peradilan Internasional ataukah mau memajukan bangsa Indonesia hingga sejajar dengan dunia Internasional?
***
Malang, 29 Juni 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H