"Kau tampak kurusan, Sri. Tapi---masih tetap terlihat manis," Mas Basuki tersenyum-senyum melihat aku salah tingkah.
"Mana istrimu, Mas?" mendadak suaraku berubah sedih. Ya, aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku. Perasaan pernah kecewa karena harus mengikhlaskan lelaki di hadapanku ini menikahi gadis lain.
"Aku datang sendiri, Sri. Kenapa?" Mas Basuki masih mengumbar senyum. Seketika mataku nanar. Menatap ke sana ke mari. Mencari keberadaan seorang perempuan, istri Mas Basuki.
"Kau tidak percaya kalau aku datang sendiri, Sri? Kau sama sekali tidak berubah. Masih Sri Kanti yang dulu, yang sulit diyakinkan," Mas Basuki terbatuk sejenak. Lalu menghela napas panjang.
"Bisa kita bicara di tempat yang lebih tenang, Sri? Maksudku---bukan di acara temu panggih ini." Mas Basuki menatapku. Entah mengapa kepalaku bergerak mengangguk, mengiyakan.
Mas Basuki berjalan mendahuluiku. Menuju anak tangga yang menghubungkan antara ruang bawah dan balkon di lantai dua. Dan aku mengikutinya dengan langkah tertatih.
Kami duduk berhadapan. Menatap senja yang mulai temaram. Sayup-sayup gending kebo giro mulai menghilang. Kiranya acara panggih manten di bawah sudah usai.
Mendadak aku teringat Ibu. Pasti Ibu kebingungan tidak menemukan keberadaanku di antara para tamu.
"Sri. Aku ingin mengatakan ini kepadamu. Tidak ada pernikahan yang terjadi. Gadis pilihan orang tuaku, sama seperti aku--ia menolak perjodohan kami," Mas Basuki meraih tanganku. Aku terperangah.
"Kenapa Mas menolak?" suaraku bergetar. Mas Basuki semakin erat menggenggam jemari tanganku.
"Apakah harus kusampaikan sekali lagi bahwa aku..."