"Kita jangan sampai terlambat datang, Sri," Ibu menegurku.
"Bukankah undangannya bebas, Bu? Tidak ada batasan jam resepsinya," sahutku seraya merapikan rambut yang kusut.
"Memang bebas. Tapi bukan itu masalahnya, Sri. Seperti biasa Ibu harus..." Ibu terdiam sejenak. Aku tersenyum. Aku tahu ke mana arah pembicaraan Ibu. Dan apa maksud Ibu mengajak datang lebih awal dari tamu undangan yang lain.Â
Apalagi kalau bukan untuk "mengambil" secara diam-diam satu kuncup kembang kantil itu. Ya, sudahlah. Demi menyenangkan hati orang tua yang tinggal satu-satunya, aku bergegas merias diri.
***
Sementara aku berdiri agak jauh di belakang. Mengawasi tingkah laku Ibu dengan perasaan trenyuh. Ah, Ibu. Sampai sebegitunya rasa sayangmu terhadap anak gadismu yang belum juga menemukan jodoh ini.
Seseorang menggamit pundakku. Membuatku terkejut dan menoleh.
"Mas Basuki?" aku mundur beberapa langkah.
"Apa kabar, Sri?" suara berat itu menyapa merdu di telingaku.
"Ba-ik Mas!" agak gugup aku menjawab.