Aku baru saja selesai mengganti popok Aisyah ketika Rani muncul. Adik bungsuku yang hampir menyelesaikan kuliahnya di bidang hukum itu mengambil duduk di tepi pembaringan.
Ia tidak berkata apa-apa. Hanya matanya tampak berbinar-binar menatap bayi mungil yang kubiarkan terlentang di atas kasur. Aku juga tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun. Cukuplah tadi siang, kami---aku dan Rani sedikit bersitegang. Membahas hal yang itu-itu juga.
Tentang pulang.
Ya. Seperti yang sudah-sudah, di setiap jelang Idul Fitri, adik bungsuku itu tak henti merayuku. Memintaku untuk pulang menemui Ayah dan Ibu.
"Sudah dua kali lebaran Mbak Ayu tidak sungkem ke hadapan orang tua kita. Itu dosa, Mbak. Cobalah untuk mengalah sedikit," masih terngiang kata-kata Rani tadi siang yang sempat membuat telingaku memerah.
"Memangnya selama ini aku tidak berusaha mengalah?" aku berkata agak emosional. Rani menarik napas panjang. Sepertinya ia sudah kehilangan cara untuk membujukku.
Aisyah bergerak-gerak lucu ketika pahanya yang montok kupuk-puk dengan bedak bayi. Rani mendekatkan kepalanya. Mencium lembut kening dan pipi keponakan kesayangannya itu berkali-kali.
"Tante besok mau mudik. Ais ikut tidak? Di sana ada Akung dan Uti. Ais bisa minta gendong sama mereka," Rani bicara pada Aisyah. Sedikit menyindirku. Aku hanya terdiam. Kualihkan perhatianku dengan mengangkat tubuh Aisyah. Lalu menyerahkannya kepada Rani.
"Nitip dia sebentar. Aku mau mandi."
***