Aku sama sekali tidak peduli ketika tangan yang biasa kugenggam itu bergerak gemetar memasukkan beberapa pakaian ke dalam kopor kecil. Meski setelahnya sang pemilik tangan itu tersenyum, berusaha menyembunyikan gerimis yang membayang samar di sudut matanya.
"Aku titip anak-anak kita, ya, Mas Yon. Aku janji, jika ada waktu luang aku pasti datang menengok kalian," ia berkata terbata. Ingin rasanya aku memeluk tubuh ringkih yang bergetar kedinginan itu. Tapi ego ini, ya ego ini, nyatanya lebih berkuasa atas diriku.Â
"Anak-anak akan baik-bailk saja bersamaku, Rin. Kalau kau mau pergi, pergilah!"Â
"Aku tahu Mas Yon akan berkata begitu. Terima kasih, sekarang aku pamit dulu. Aku akan pulang ke rumah kontrakan. Assalamualaikum...."
"Waalaikum salam..."
Pintu kamar pun tertutup kembali. Rapat. Dan sang pemilik ego berlebihan ini, kini berdiri sendiri.Â
Benar-benar sendiri.Â
***
"Sampai kapan kau akan bersikap arogan seperti ini, Yon?" Arya, teman sekantor sekaligus teman terdekatku menegur. Membuat tanganku berhenti menggerakkan mouse yang sejak tadi kugenggam.
"Sampai aku menemukan orang yang bisa mengerti diriku, Ar," aku menjawab datar.Â
"Mengerti dirimu? Siapa yang bisa dan mau mengerti dirimu? Kecuali Airin, Yon! Ya. Dialah satu-satunya perempuan yang bisa memahami karaktermu dengan segala keegoisan yang kaubanggakan itu!" Arya merapikan kertas-kertas yang berserakan di hadapannya dengan kasar. Matanya yang tajam beralih menatapku.