Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dua Pisau Terakhir

18 Maret 2019   19:11 Diperbarui: 15 Juli 2022   11:40 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:whatyouthoughtiwentaway.wordpress.com/Jim Campbell's

Dedy Delusi mengeluarkan beberapa mata pisau dari dalam tas hitamnya. Lalu menatanya rapi di atas meja. Menghitungnya satu persatu dengan seksama.

Jemarinya berhenti pada pisau kesebelas dan keduabelas, dua pisau paling runcing dan tajam.

Kemudian ia menoleh, tersenyum tipis menatap sosok gadis yang berdiri tak jauh darinya.

"Kau sudah siap, Alisa? Kuharap malam ini kita akan menampilkan pertunjukan yang terbaik. Setelah Minggu lalu kita nyaris gagal," Dedy berkata dengan tatap mata masih belum beralih dari gadis berpakaian minim berumbai-rumbai ala penari salsa itu. 

"Tentu, Tuan Dedy. Saya berjanji akan lebih berkonsentrasi terhadap instruksi Anda. Saya tidak ingin salah satu pisau milik Anda kembali melukai bagian tubuh saya," gadis yang dipanggil Alisa itu meraba sejenak paha kirinya. Ada bekas luka jahitan yang masih terasa nyeri.

"Luka itu akan sembuh dalam sepuluh hari, Alisa. Seperti luka-luka lain yang kaualami sebelumnya," Dedy berdiri. Kali ini pandangan mata lelaki berpostur kekar itu tertuju pada sesuatu. 

Pada bagian tubuh paling sensitif yang dimiliki Alisa.

***

Musik klasik bernuansa mistis mengiringi pertunjukan sulap malam itu. Mendayu-dayu miris menambah ketegangan suasana. Penonton yang duduk tenang di kursi mereka masing-masing, menahan napas menyaksikan seorang gadis cantik berdiri di tengah-tengah papan kayu yang sudah diberi tanda beberapa titik hitam. Titik-titik itu merupakan titik sasar pisau yang sebentar lagi akan dilempar oleh Dedy Delusi, sang pesulap tersohor.

Seperti biasa, Alisa berdiri dengan tenang. Posisi tubuhnya diatur sedemikian rupa, serileks mungkin. Wajahnya yang jelita tersorot lampu berkekuatan ribuan watt, yang sesekali cahayanya beralih ke sana kemari.

Suasana kian hening manakala Dedy mulai beraksi melempar dua pisau pertama dalam genggaman tangannya.

Tap! Tap!

Dua pisau itu melesat, menancap tepat pada titik sasar yang berjarak hanya beberapa inci dari ubun-ubun dan bagian kiri wajah Alisa. 

Penonton menghela napas lega.

Dedy meraih pisau ketiga dan keempat. Siap melontarkannya ke arah titik hitam di bagian wajah kanan dan sisi pundak kiri gadis itu. 

Tap! Tap!

Tak ada pisau yang meleset. Tepuk tangan penonton menggema. 

Musik pengiring mengalun semakin cepat. Menandakan pisau-pisau di tangan Dedy jumlahnya kian berkurang.

Pada hitungan keenam, di mana pisau kesebelas dan kedua belas siap dilemparkan, lampu menyorot terang pada dada Alisa yang malam itu tampak begitu ranum dan indah.

Dedy Delusi mulai menggerak-gerakkan kedua tangannya. Bukan hanya penonton yang menahan napas, tapi juga Alisa. Gadis itu membiarkan keringat dingin mengucur deras membasahi keningnya yang licin dan halus.

Tampak Dedy sudah mengambil ancang-ancang. Dan tangannya yang memegang dua pisau terakhir mulai berhenti bergerak, siap melontar menggunakan tenaga yang baru saja dihimpunnya.

Sebelum tangan kekar itu itu kembali bergerak, mendadak cahaya lampu berubah arah. Kali ini menyorot tepat pada wajah Dedy yang tersenyum penuh kepuasan.

Selanjutnya pemandangan mengerikan itu tak terelakkan lagi. Tersaji begitu tiba-tiba di atas panggung. Penonton yang semula duduk tenang seketika berteriak histeris. 

Dua buah pisau runcing dan tajam tertancap cukup dalam di sana. 

Di kedua bola mata Dedy. 

Membuat pesulap itu roboh tak sadarkan diri.

***

"Nasib Dedy Delusi sungguh sangat mengenaskan, Sherlick. Luka pada kedua matanya cukup serius. Dia harus dilarikan ke rumah sakit. Sementara pelaku pelemparan pisau yang diduga gadis bernama Alisa itu--lenyap tak berbekas. Polisi kehilangan jejak," suara Jhon terdengar penuh empati.

"Dalam kasus ini kita tidak boleh melihat hanya pada satu sisi saja, Jhon. Ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan," aku tersenyum. Melempar pandang ke luar jendela apartemen.

"Maksudmu?" Jhon mengernyit alis. Lalu buru-buru memekik. "Tunggu, Sherlick! Apakah kau mengetahui sesuatu berkenaan dengan gadis itu?" ia mulai menaruh curiga padaku.

Aku tertawa.

"Tentu saja, Jhon! Ah, kau ini memang payah. Coba ingat-ingat  kembali, sepupuku. Sore di mana pertunjukan sulap itu akan berlangsung, bukankah aku sempat menelponmu?"

Jhon terdiam sejenak.

"Oh! Astaga, Sherlick. Aku ingat sekarang! Sore itu kau pamit pergi ke suatu tempat. Kau bilang akan mengajari seseorang bermain bumerang. Apakah, apakah..." mata Jhon terbelalak lebar.

"Kau benar Jhon. Nona Alisa memintaku untuk datang mengajarinya bagaimana menangkap dua mata pisau yang melesat ke dadanya. Dan..." aku sengaja menghentikan kalimatku.

Jhon mendekatkan wajahnya.

"...dan bagaimana mengembalikan pisau-pisau itu kepada tuannya?" sepupuku itu mendengus dengan suara tertahan. Aku mengangguk

"Tenanglah, Brother. Ini hanya soal pembelaan diri seorang perempuan. Alisa sudah lama mengalami perlakuan tidak manusiawi. Luka-luka di sekujur tubuhnya membuat ia sangat tertekan. Kukira keadilan hukum pun akan berpihak kepada gadis itu sekiranya polisi berhasil menangkapnya nanti," aku menepuk pundak Jhon perlahan. Lalu menyodorinya slayer.

"Di luar langit sedang cerah, Jhon.  Waktunya melupakan sejenak kasus-kasus. Aku ingin mencari angin. Kau tidak keberatan menemaniku, bukan?"

***

Malang, 18 Maret 2019

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun