Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pohon Kata-kata

10 Maret 2019   06:52 Diperbarui: 10 Maret 2019   07:17 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: artmajeur.com/gusfineart

Setiap usai sholat Subuh, lelaki itu selalu melakukan hal yang sama. Menulis satu dua kata pada batang pohon mangga yang tumbuh di samping rumahnya.

Pohon mangga itu kian hari diameter kambiumnya kian melebar. Menandakan jikalau umurnya sudah tidak muda lagi. Dan nyaris tak ada tempat untuk mencorat-coret sesuatu di sana. Batangnya sudah penuh dijejali oleh goresan-goresan kecil membentuk rangkaian kata-kata--yang maknanya tentu saja hanya bisa dimengerti oleh si lelaki itu sendiri.

Kultivator rindu. Vibrasi Cinta. Adalah satu dua contoh dari sekian banyak guratan kata yang ditulis oleh lelaki itu.

 "Kau akan menulis di mana lagi? Di sini sudah tidak ada sela!" sebuah suara membuat lelaki itu menoleh. 

Tak ada siapa pun. Hanya deru angin yang menerpa wajah lelaki itu. Secara tiba-tiba.

"Sudah kubilang. Aku akan terus menulis di sini. Di sekujur tubuh pohon mangga ini. Jika batangnya sudah penuh, aku bisa menyelipkan kata-kataku pada rerantingnya. Jika rerantingnya sudah penuh pula, aku akan menggoreskan pisauku pada setiap helai dedaunannya." Lelaki itu tersenyum.

"Dasar kau keras kepala! Mengapa kau tidak pernah berusaha untuk berhenti merinduinya?" suara itu terdengar lagi. Kali ini disertai hempasan angin yang menguarkan hawa panas. Membuat lelaki itu harus mengusap sebagian wajahnya yang berkeringat dengan satu telapak tangan.

"Sejak kapan merindui itu dilarang?" lelaki itu kembali tersenyum. Alam pun seketika terdiam. Hening.

Lelaki itu kini menengadahkan kepala. Memandangi dan membaca ulang goresan kata-kata yang telah diukirnya.

"Ketika kau datang kelak, duhai, perempuanku, kupastikan sudah tuntas segala perasaan yang dulu belum sempat kusampaikan kepadamu," lelaki itu menggerakkan bibirnya perlahan. Lalu mulai menjejakkan kaki secara bergantian. Menaiki pohon mangga itu. Mencari sela-sela di mana sekiranya ia masih bisa menggguratkan ujung pisaunya yang berkilau tajam.

***

Ia datang ketika lustrum waktu berputar pada kisaran 160 kali. 

Perempuan itu. Ia muncul dalam tampilan yang berbeda. Namun masih dengan jiwa dan isi kepala yang sama.

Dan tentu saja lelaki itu langsung bisa mengenalinya dengan baik.

Ia biarkan perempuan itu berjalan tergesa-gesa. Berteduh dari sengat terik matahari, tepat di bawah pohon mangga yang siang itu mulai menggugurkan sari bunga-bunganya.

Perempuan itu nyaris bersandar pada batang pohon kalau saja matanya yang redup tidak keburu menangkap sesuatu yang ganjil.

Kata-kata!

Begitu banyak kata-kata tertangkap oleh tidak saja indera penglihatannya, tapi juga mata hatinya. Perempuan itu terjengah. Merasa Deja vu.

Beberapa detik lamanya dada perempuan itu naik turun. Menahan gejolak yang seolah hendak meledak dan melumatnya habis-habisan.

kutandur rindu pada tiap gulir waktu
semampuku

Perempuan itu sontak bersimpuh. Menenggelamkan diri pada kedua tangkup jemarinya.

tentang bagaimana rindu mesti kukultivasi
menjadi petani waktu yang mendatangi tanah hati

menanam bibit-bibit rindu tatkala sengat gairah mentari: hangat menciumi pipi embun-embun pagi

"Hentikan, Bre! Rama Wijayaku..." perempuan itu tak mampu lagi menyembunyikan airmatanya. "Akhirnya aku menemukanmu---di sini," ia menengadah sejenak. Membalas tatapan angin yang bersliweran di hadapannya.

Lelaki itu tersenyum. Dari balik kelambu jendela kamar yang terkuak sedikit, ia berkata lirih.

"Selamat datang kembali, perempuanku. Lama aku diam, menunggumu dalam rindu. Mengamati setiap nanar gerak kegelisahan dari desah nafasmu yang tersengal dan terburu-buru."

Perlahan lelaki itu menutup kelambu jendela. Merebahkan diri di atas pembaringan dengan tenang.

Sementara di luar sana. Di bawah pohon mangga yang tubuhnya dipenuhi oleh goresan kata-kata. Angin tetiba datang. Bertiup sangat kencang. Meluruhkan satu demi satu kalimat yang telah ditorehkan oleh lelaki itu. Menjadikannya kudapan siang. Untuk kemudian dihidangkan dan disantap dengan lahap oleh perempuan itu.

Perempuan yang datang dari masa lalu.

***

Malang, 10 Maret 2019

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun