Setiap usai sholat Subuh, lelaki itu selalu melakukan hal yang sama. Menulis satu dua kata pada batang pohon mangga yang tumbuh di samping rumahnya.
Pohon mangga itu kian hari diameter kambiumnya kian melebar. Menandakan jikalau umurnya sudah tidak muda lagi. Dan nyaris tak ada tempat untuk mencorat-coret sesuatu di sana. Batangnya sudah penuh dijejali oleh goresan-goresan kecil membentuk rangkaian kata-kata--yang maknanya tentu saja hanya bisa dimengerti oleh si lelaki itu sendiri.
Kultivator rindu. Vibrasi Cinta. Adalah satu dua contoh dari sekian banyak guratan kata yang ditulis oleh lelaki itu.
 "Kau akan menulis di mana lagi? Di sini sudah tidak ada sela!" sebuah suara membuat lelaki itu menoleh.Â
Tak ada siapa pun. Hanya deru angin yang menerpa wajah lelaki itu. Secara tiba-tiba.
"Sudah kubilang. Aku akan terus menulis di sini. Di sekujur tubuh pohon mangga ini. Jika batangnya sudah penuh, aku bisa menyelipkan kata-kataku pada rerantingnya. Jika rerantingnya sudah penuh pula, aku akan menggoreskan pisauku pada setiap helai dedaunannya." Lelaki itu tersenyum.
"Dasar kau keras kepala! Mengapa kau tidak pernah berusaha untuk berhenti merinduinya?" suara itu terdengar lagi. Kali ini disertai hempasan angin yang menguarkan hawa panas. Membuat lelaki itu harus mengusap sebagian wajahnya yang berkeringat dengan satu telapak tangan.
"Sejak kapan merindui itu dilarang?" lelaki itu kembali tersenyum. Alam pun seketika terdiam. Hening.
Lelaki itu kini menengadahkan kepala. Memandangi dan membaca ulang goresan kata-kata yang telah diukirnya.
"Ketika kau datang kelak, duhai, perempuanku, kupastikan sudah tuntas segala perasaan yang dulu belum sempat kusampaikan kepadamu," lelaki itu menggerakkan bibirnya perlahan. Lalu mulai menjejakkan kaki secara bergantian. Menaiki pohon mangga itu. Mencari sela-sela di mana sekiranya ia masih bisa menggguratkan ujung pisaunya yang berkilau tajam.
***