Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Guru Merayu Siswi di Bawah Umur

5 Maret 2019   06:50 Diperbarui: 5 Maret 2019   07:35 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya ada perasaan tidak enak ketika hendak menuliskan artikel ini. Tapi jika tidak ditulis saya akan terus dihantui rasa bersalah karena tidak membagikan pengalaman yang menurut saya sangat mengejutkan sekaligus memprihatinkan ini.

Bermula dari suatu petang selepas Magrib. Seperti biasa saya menemani siswa-siswi bimbel usia kelas 6 SD jelang persiapan menghadapi try out dan Ujian Nasional.

Ketika asyik mengerjakan latihan soal-soal, tiba-tiba salah seorang siswi--sebut saja namanya Jelita, meraih ponsel dan menerima panggilan vicall dari seseorang.  

Semula saya tidak terlalu memperhatikan, karena saya pikir panggilan itu berasal dari teman-teman si Jelita yang ingin menanyakan tugas sekolah atau PR. Maklumlah si Jelita memang termasuk anak yang berprestasi di kelasnya. 

Tapi kemudian saya terhenyak ketika mendengar si Jelita berkata,"Maaf, Pak. Ini saya sedang bimbel." Dan ucapan itu disambut siswa lain dengan celutukan,"Sekarang banyak guru merayu murid!"

Tentu saja saya tidak bisa mengabaikan celutukan spontan tersebut begitu saja. Dengan penuh rasa ingin tahu saya bertanya kepada si Jelita,"Apa yang sedang menelponmu itu Pak guru?" 

Si Jelita mengangguk tersipu. Lalu buru-buru ia menutup telpon dan memasukkan benda elektronik itu ke dalam kotak pensilnya.

Usai kejadian itu, bukan bermaksud sok kepo, tapi lebih kepada perasaan seorang Ibu terhadap anaknya, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk memberitahu dan mengingatkan. 

Benar. Saya mengkhawatirkan sesuatu. Maka saya pun bertanya lagi,"Apa yang sudah Pak guru bilang padamu, Nduk?"

Bukan si Jelita yang menjawab pertanyaan saya, melainkan siswi yang duduk bersebelahan dengannya. 

"Pak guru merayu mengajak nonton ke bioskop, Bu. Mau ditraktir katanya. Tapi khusus untuk Jelita. Kalau saya ikut mah harus bayar sendiri."

Deg. Tentu saja saya kaget bukan alang kepalang.

Belum juga reda rasa terkejut saya, Jelita meraih lagi ponselnya, ada SMS masuk. Setelah membaca beberapa saat gadis kecil berusia kisaran 12 tahun itu menyodorkan ponselnya itu ke arah saya. Menunjukkan sebuah kalimat dalam bahasa Inggris..

Great Expectations.

Lagi-lagi saya terkecoh. Saya pikir itu tugas Bahasa Inggris yang harus diterjemahkan. Ternyata bukan. Kalimat itu dikirim oleh guru yang tadi mengajak si Jelita vicall. Saya baru ngeh ketika melihat kalimat itu disertai pula dengan gambar bunga dan emo berbentuk hati.

Duh. Apa yang harus saya lakukan? Napas saya tiba-tiba terasa sesak.

Akhirnya, sembari menahan gejolak hati (baca:gregetan) saya berkata kepada si Jelita,"Matikan ponselmu, Nduk. Jangan balas atau komen apa pun. Fokus pada belajarmu. Ingat, sebentar lagi kamu akan menghadapi Ujian Nasional."

Sekali lagi. Ini bukan fiksi atau sekadar cerita mengada-ada. Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Seorang guru (muda?) merayu siswi ingusan. Barangkali ini memang bukan hal yang baru. Kemungkinan tidak hanya dialami oleh siswi bimbel saya. Bisa jadi di luar sana banyak juga siswi-siswi lain--yang masih bau kencur pernah atau sedang mengalaminya.

Saya jadi teringat kisah saya sendiri ketika masih duduk di bangku awal SLTP puluhan tahun silam. Bagaimana saya begitu ketakutan ketika setiap hari dicegat oleh seorang guru muda yang mengaku jatuh cinta kepada saya. 

Kepada gadis cilik yang bahkan belum mengalami menstruasi. Saya sampai berlari-lari menghindar, juga sering merasa tidak nyaman berada di sekolah hanya karena takut melihat sosok guru tersebut yang menurut saya sengaja memata-matai gerak gerik saya.

Puncaknya. Suatu hari si guru muda tersebut memberi saya sebuah amplop. Beruntung sekali ketika itu seorang Bapak guru lain melihat kebingungan saya yang berdiri termangu mengamati amplop berwarna merah muda di tangan saya.

Bapak guru tersebut mendekat dan bertanya,"Ada apa, Lik?"

Dengan kepolosan seorang bocah saya menyodorkan amplop di tangan sembari berkata,"Saya menerima ini, Pak."

Bapak guru tersebut tersenyum. Menerima amplop dari saya lalu menyuruh saya pulang.

Esoknya. Saya dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Diinterogasi masalah amplop yang saya terima kemarin.

"Kamu tahu tidak apa isi amplop itu, Lik?"

Spontan saya menggeleng. Bapak guru yang menginterogasi saya mengelus kepala saya.

"Ya, sudah. Itu bagus. Sekarang kamu fokus saja pada pelajaran sekolah, ya."

Mendengar itu saya terdiam beberapa saat. Tapi kemudian memberanikan diri bertanya,"Memang kalau boleh tahu isi amplopnya apa, Pak?"

"Surat cinta."

***

Kembali kepada kisah si Jelita--sisiwi bimbel saya. Kemarin malam saya sempatkan bertanya lagi perihal ajakan gurunya tersebut. Sekadar memastikan apakah sang guru masih terus melancarkan rayuan.

Alhamdulillah. Jawaban si Jelita membuat saya tenang dan bersyukur.

"Sudah saya blokir, Bu!"

Saya tahu dan sangat paham, tidak semua guru bersikap tidak baik terhadap murid-muridnya. Masih banyak guru di dunia ini yang menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai seorang pendidik dan pengajar. Yang kelak jasa-jasa mereka akan senantiasa dikenang sepanjang masa.

Selamat pagi. Salam hangat penuh takzim untuk para guru Indonesia yang berhati mulia.

***

Malang, 05 Maret 2019

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun