Deg. Tentu saja saya kaget bukan alang kepalang.
Belum juga reda rasa terkejut saya, Jelita meraih lagi ponselnya, ada SMS masuk. Setelah membaca beberapa saat gadis kecil berusia kisaran 12 tahun itu menyodorkan ponselnya itu ke arah saya. Menunjukkan sebuah kalimat dalam bahasa Inggris..
Great Expectations.
Lagi-lagi saya terkecoh. Saya pikir itu tugas Bahasa Inggris yang harus diterjemahkan. Ternyata bukan. Kalimat itu dikirim oleh guru yang tadi mengajak si Jelita vicall. Saya baru ngeh ketika melihat kalimat itu disertai pula dengan gambar bunga dan emo berbentuk hati.
Duh. Apa yang harus saya lakukan? Napas saya tiba-tiba terasa sesak.
Akhirnya, sembari menahan gejolak hati (baca:gregetan) saya berkata kepada si Jelita,"Matikan ponselmu, Nduk. Jangan balas atau komen apa pun. Fokus pada belajarmu. Ingat, sebentar lagi kamu akan menghadapi Ujian Nasional."
Sekali lagi. Ini bukan fiksi atau sekadar cerita mengada-ada. Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Seorang guru (muda?) merayu siswi ingusan. Barangkali ini memang bukan hal yang baru. Kemungkinan tidak hanya dialami oleh siswi bimbel saya. Bisa jadi di luar sana banyak juga siswi-siswi lain--yang masih bau kencur pernah atau sedang mengalaminya.
Saya jadi teringat kisah saya sendiri ketika masih duduk di bangku awal SLTP puluhan tahun silam. Bagaimana saya begitu ketakutan ketika setiap hari dicegat oleh seorang guru muda yang mengaku jatuh cinta kepada saya.Â
Kepada gadis cilik yang bahkan belum mengalami menstruasi. Saya sampai berlari-lari menghindar, juga sering merasa tidak nyaman berada di sekolah hanya karena takut melihat sosok guru tersebut yang menurut saya sengaja memata-matai gerak gerik saya.
Puncaknya. Suatu hari si guru muda tersebut memberi saya sebuah amplop. Beruntung sekali ketika itu seorang Bapak guru lain melihat kebingungan saya yang berdiri termangu mengamati amplop berwarna merah muda di tangan saya.
Bapak guru tersebut mendekat dan bertanya,"Ada apa, Lik?"