"Jaga mulut lancang  riko, Yu Nah!" Ibu menyahut tak kalah sengit. Ia terlihat amat tersinggung. Lalu, blam! Dengan kasar Ibu menutup pintu rumah rapat-rapat.
"Tetangga gendheng! Jangan diambil hati ucapannya ya, Nur," Ibu buru-buru membopongku pindah ke kamar belakang.
"Nanti kalau Ibu berangkat ke kaldera, aku kunci pintunya dari luar, ya. Ada Telon yang akan menemanimu," Ibu mendudukkanku di atas amben beralas tikar. Mengecup ubun-ubun kepalaku dengan lembut.
Aku mengangguk.
"Nasi dan lauk pauk sudah aku siapkan di atas meja. Berbagilah makanan dengan Telon," Ibu menunjuk tudung nasi di atas meja kecil yang terletak tidak jauh dari jangkauanku.Â
Sekali lagi aku mengangguk.
***
Ketika matahari mulai meninggi, Ibu gegas mengunci pintu rumah, meninggalkanku menuju kaldera. Bakul berisi puluhan jagung rebus yang masih panas sudah siap di dalam gendongannya.
Ya. Ibu menjajajakan jagung rebus itu pada para pelancong yang datang berkunjung di sekitar area wisata Gunung Bromo. Hanya itu yang bisa Ibu lakukan. Dan pekerjaannya yang tidak menentu ini menjadi satu-satunya penopang hidup kami.
Andai saja---ya, andai saja aku tidak ditakdirkan lumpuh pada kedua kakiku.
Ah, sejak kapan aku pandai mengeluh seperti ini? Tidak. Kalau sampai Ibu tahu pasti ia akan marah besar. Kata Ibu aku harus tetap bersyukur apa pun yang Tuhan berikan kepada kami.