Ketika tiba jam waktu makan siang. Dua orang bercakap-cakap tak jauh dari tempatku meringkuk.
"Siapa dia? Orang baru?" seseorang dari mereka bertanya. Teman yang diajak bicara mengangguk.
"Apa kasusnya?"
"Membunuh."
"Aduh, mengerikan sekali! Siapa korbannya?"
"Ibu mertuanya sendiri."
Aku menyipitkan kedua mataku. Dua orang itu tengah membicarakan diriku. Membuatku ingin tertawa.
Dan aku benar-benar tertawa. Tawa yang sangat keras sekali. Seperti suara tawa Mami ketika ia menyeret tubuhku, memasukkanku ke dalam kamar dan menguncinya dari luar.
Puas tertawa aku menangis. Meraung sejadi-jadinya. Seperti tangis bayi yang dipaksa keluar dari rahimku sebelum waktunya oleh dokter gadungan suruhan Mami, saat suamiku bertugas ke luar kota.
"Kau tidak boleh memiliki keturunan dari Herman. Kau hanya istri sementara. Herman telah aku jodohkan dengan..."
Tangisku baru mereda ketika seseorang menyentuh pundakku dan memberiku sesuatu.