Entah siapa yang memasang topeng-topeng itu di dinding kamarku. Tahu-tahu, ketika aku terbangun pada dini hari, mereka---topeng-topeng itu sudah berebut menatapku.
Tentu saja aku terkejut. Dinding kamar yang semula putih bersih tanpa hiasan satupun, mendadak dipenuhi wajah-wajah asing dengan berbagai macam ekspresi. Dan semakin terkejut lagi, ketika salah satu dari topeng itu mengeluarkan suara semirip orang bersendawa.
"Mamiiiiii...!!!" aku berteriak sekuat tenaga. Beranjak dari tempat tidur dengan kaki telanjang. Meraih gagang pintu. Tapi pintu bergeming. Terkunci rapat dari luar.
Sejenak aku tersadar. Seseorang sengaja menyanderaku di sini. Di dalam kamarku sendiri. Bersama topeng-topeng yang mulai menaikkan bibir mereka.
Tertawa.
***
Keringat mengucur deras membasahi kening. Aku nyaris menghabiskan tisu yang tinggal satu dua lembar di atas meja. Beberapa kali aku bergidik. Teringat bagaimana wajah topeng-topeng itu menertawakanku ketika aku berusaha melarikan diri dari kamar melalui jendela.
"Kau hanya bermimpi, Melissa. Tak ada apa-apa menghiasi dinding kamarmu," suara dan sentuhan tangan Mami mengagetkanku.
"Kukira, aku harus pindah kamar, Mi," aku mengangkat wajahku sedikit. Kulihat senyum Mami mengembang. Membuatku tersedak.
***
Seharian itu aku tidak berani memasuki kamarku. Meski berulangkali Mami menegaskan bahwa dinding kamarku bersih. Tak ada hiasan apapun terpajang di sana.
"Tapi aku melihatnya, Mi. Topeng-topeng itu berjejal di dinding. Berderet-deret tanpa sela. Dan...wajah-wajah mereka, amat menakutkan!"
"Baiklah Melissa, kalau kau tetap berpikiran begitu, untuk sementara pindah saja ke kamar Mami. Biar Mami yang menempati kamarmu," Mami berdiri. Menyentuh pundakku lagi.
Aku menarik napas lega.
Malam itu aku dan Mami sepakat bertukar tempat.
***
Tepat menjelang dini hari, aku dikejutkan oleh suara lolongan panjang. Berasal dari kamarku yang ditempati oleh Mami.
Dengan tubuh gemetar aku beranjak dari ranjang. Berjalan berjinjit keluar kamar. Bermaksud mengetahui apa yang terjadi.
Di depan pintu kamar yang ditempati Mami langkahku terhenti. Aku menunggu.
Tidak terdengar suara apa-apa.
***
Selang beberapa Minggu
Ketika tiba jam waktu makan siang. Dua orang bercakap-cakap tak jauh dari tempatku meringkuk.
"Siapa dia? Orang baru?" seseorang dari mereka bertanya. Teman yang diajak bicara mengangguk.
"Apa kasusnya?"
"Membunuh."
"Aduh, mengerikan sekali! Siapa korbannya?"
"Ibu mertuanya sendiri."
Aku menyipitkan kedua mataku. Dua orang itu tengah membicarakan diriku. Membuatku ingin tertawa.
Dan aku benar-benar tertawa. Tawa yang sangat keras sekali. Seperti suara tawa Mami ketika ia menyeret tubuhku, memasukkanku ke dalam kamar dan menguncinya dari luar.
Puas tertawa aku menangis. Meraung sejadi-jadinya. Seperti tangis bayi yang dipaksa keluar dari rahimku sebelum waktunya oleh dokter gadungan suruhan Mami, saat suamiku bertugas ke luar kota.
"Kau tidak boleh memiliki keturunan dari Herman. Kau hanya istri sementara. Herman telah aku jodohkan dengan..."
Tangisku baru mereda ketika seseorang menyentuh pundakku dan memberiku sesuatu.
Topeng.
"Ini anakmu. Susuilah."
***
Malang, 25 November 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H