Harusnya kau pulang ke rumahku, Diar. Bukan ke rumah yang lain. Bisikku dalam hati. Hanya dalam hati.
Aku merasakan ada percik api cemburu yang meletup-letup, yang tentu saja tidak boleh aku biarkan. Harus segera kupadamkan.
Tidak. Aku tidak boleh berpikiran macam-macam. Aku ingin melepas kepulangan Diar ke 'rumahnya yang lain' dengan langkah ringan tanpa beban.
Toh meski begitu aku tetap tidak bisa menyembunyikan, entah perasaan apa.
Dan orang pertama yang bisa membaca perubahan air mukaku adalah Ibu.
Juga ketika aku merajuk memeluk guling seharian di dalam kamar, Ibu tak lelah bolak-balik menengokku. Menawari aku minum, atau sekadar memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Sampai akhirnya aku tidak mampu lagi menahan gejolak hatiku. Juga pertahanan airmataku.
"Kau ingin Ibu mengatakan sesuatu, Rin?" Ibu duduk di tepi pembaringan. Tangannya yang lembut terasa hangat menyentuh ujung kakiku. Dalam isak yang nyaris tak terdengar aku mengangguk.
"Baiklah. Jika ini menyangkut masalah Diar, Ibu hanya bisa mengingatkan, hidup adalah pilihan, Rin. Kau sudah menjatuhkan pilihanmu pada lelaki itu. Dan itu berarti kau sudah siap pula menanggung semua risikonya," Ibu berkata pelan. Aku kian erat memeluk guling.
Ibu benar. Sangat benar.
"Atau kau mulai menyesali apa yang sudah menjadi pilihanmu?" Ibu membetulkan letak selimutku yang tersingkap. Aku menggeleng.