Jika pagi tiba, Ayah menggendongku. Membawaku ke belakang rumah. Memandikanku di bawah pancuran yang airnya mengucur dingin. Kaki kecilku menggigil. Berkecipak melompat-lompat seperti anak angsa yang baru belajar berenang.
"Ayah, suara gemericik air ini mengingatkanku pada suara Ibu," aku menatap mata Ayah.
"Ya, itu memang suara Ibumu," Ayah menyahut seraya mengangguk kecil.
Aku terdiam. Selalu begitu. Selalu jika aku bertanya atau membandingkan sesuatu dengan Ibu, Ayah akan mengatakan hal yang sama.
Seperti suatu siang, saat aku melihat hujan deras datang mengguyur. Membasahi rumput-rumput dan tanah yang kering di sekitar pelataran rumah. Rasa takjub membuatku berseru riang,"Ayah, hujan bernyanyi semerdu suara Ibu!"
"Ya, Nak. Itu memang suara merdu Ibumu."
Atau---di satu malam ketika aku tidak bisa tidur, Ayah akan mendudukkanku di atas pangkuannya. Membiarkan aku menikmati bulan purnama yang tengah bersinar penuh dari balik tirai jendela.
"Bulan malam ini terlihat sangat menawan, Ayah!" aku bergumam kagum.
"Ya, bulan memang selalu menawan, Nak. Seperti Ibumu."
Lalu aku tumbuh. Bersama waktu.Â
Meski tidak kuat lagi menggendongku, Ayah masih suka sesekali menemani aku mandi di pancuran belakang rumah. Aku tahu, suara gemericik air yang jatuh dari pancuran itulah penyebabnya. Aku melihat Ayah berlama-lama berdiri, menatapku sembari bergumam lirih,"Suara Ibumu, Nak. Masih belum juga berubah."