"Kau tidak seharusnya bertindak bodoh, Geni. Kenekatanmu datang kemari ibarat seekor ular menyongsong gebukan," Lily bergumam kesal. Geni terdiam. Pikirannya tengah sibuk memetakan sesuatu. Pecah ke mana-mana. Salah satunya menjurus kepada perempuan bergaun merah tadi.
"Kau mendengarku tidak, Geni?" Lily menyandarkan punggungnya. Lebih tepatnya menghempaskan.
"Ya. Aku mendengarmu, Lily," Geni terpaksa menyahut.
"Oh, syukurlah. Kukira kau masih lelaki yang sama. Lelaki pecundang yang gemar mempermainkan perempuan," Lily menarik napas panjang. Sekelebat kenangan pahit dan manis berhamburan, membuat ia memejamkan mata.
"Aku sudah lama bertobat, Lily. Sejak..." Geni terlepas kata.
"Sejak kapan? Sejak kau berhasil mencuri ciuman dariku?" Lily membuka matanya kembali. Nanar.Â
Geni tersenyum. Ada perasaan hangat tiba-tiba menjalari seluruh aliran darahnya.
***
Jarum jam di dinding sedikit lagi menunjuk pada angka dua belas. Geni meringkuk di atas karpet dalam keadaan tangan masih terborgol. Sementara Lily sibuk memainkan ponsel di tangannya. Mengacuhkan keberadaan Geni.Â
"Sebentar lagi bibimu yang cantik dan Nyonya Besar itu akan datang. Apakah kau tidak ingin menyelamatkan diriku dari maut?" Geni mulai gelisah. "Setidaknya dengan membuka borgol ini."
"Maaf. Kali ini aku tidak tertarik untuk menolongmu, Geni. Seujung kuku pun, tidak! Kau tahu kenapa?" suara Lily tiba-tiba meninggi.