Tertangkapnya lelaki bernama Geni di apartemen tersembunyi malam itu membuat keadaan kian merumit. Ditambah kehadiran Lily. Yang masih sepupu dekat El.
"Jaga pria tengil yang sudah berani menyelundup di sarang kita ini, Lily. Perlakukan ia sebagaimana seorang tamu tak diundang!" perintah Nyonya Besar terdengar tegas.Â
Menjaga Geni? Lily seketika merasa dadanya penuh. Bagaimana mungkin ia akan melakukannya, berdua dalam satu ruangan dengan laki-laki yang pernah melukai hatinya itu?Â
Tentu saja Lily tidak sudi!
Lily menatap El sejenak. Berharap bibinya itu bisa membantunya. Setidaknya mempengaruhi Nyonya Besar agar mencabut perintahnya.
"Sorry, Lily. Malam ini kami berdua harus menghadiri suatu pertemuan rahasia. Hanya sebentar. Tepat jam dua belas, teng! Kami akan pulang. Kau tahu apa artinya itu, bukan?" El tersenyum dingin seraya menyibak gaun merahnya. Matanya yang sayu melirik sekilas ke arah Geni.
Geni terkesiap. Bukan karena mendengar El menyebut angka dua belas--angka yang diyakini sebagai penentu eksekusi, melainkan karena gaun merah itu! Bagian bawah gaun yang dikenakan El tampak ganjil. Terdapat lubang kecil. Seperti sengaja disayat oleh benda tajam.
Geni mendadak bersemangat kembali.Â
Yess! Laki-laki itu bersorak dalam hati. Ia nyaris menemukan benang merah atas kematian Tuan Baron!
***
Sepeninggal El dan Nyonya Besar, Lily terduduk di sofa tak jauh dari tempat Geni meringkuk.
"Kau tidak seharusnya bertindak bodoh, Geni. Kenekatanmu datang kemari ibarat seekor ular menyongsong gebukan," Lily bergumam kesal. Geni terdiam. Pikirannya tengah sibuk memetakan sesuatu. Pecah ke mana-mana. Salah satunya menjurus kepada perempuan bergaun merah tadi.
"Kau mendengarku tidak, Geni?" Lily menyandarkan punggungnya. Lebih tepatnya menghempaskan.
"Ya. Aku mendengarmu, Lily," Geni terpaksa menyahut.
"Oh, syukurlah. Kukira kau masih lelaki yang sama. Lelaki pecundang yang gemar mempermainkan perempuan," Lily menarik napas panjang. Sekelebat kenangan pahit dan manis berhamburan, membuat ia memejamkan mata.
"Aku sudah lama bertobat, Lily. Sejak..." Geni terlepas kata.
"Sejak kapan? Sejak kau berhasil mencuri ciuman dariku?" Lily membuka matanya kembali. Nanar.Â
Geni tersenyum. Ada perasaan hangat tiba-tiba menjalari seluruh aliran darahnya.
***
Jarum jam di dinding sedikit lagi menunjuk pada angka dua belas. Geni meringkuk di atas karpet dalam keadaan tangan masih terborgol. Sementara Lily sibuk memainkan ponsel di tangannya. Mengacuhkan keberadaan Geni.Â
"Sebentar lagi bibimu yang cantik dan Nyonya Besar itu akan datang. Apakah kau tidak ingin menyelamatkan diriku dari maut?" Geni mulai gelisah. "Setidaknya dengan membuka borgol ini."
"Maaf. Kali ini aku tidak tertarik untuk menolongmu, Geni. Seujung kuku pun, tidak! Kau tahu kenapa?" suara Lily tiba-tiba meninggi.
Belum juga Geni menjawab, terdengar derap langkah menaiki anak tangga.
Dua perempuan aneh itu rupanya sudah kembali.
"Pesta yang sungguh melelahkan. Kukira aku butuh tidur sebentar," Nyonya Besar berkata seraya berjalan menuju kamarnya. "Kau periksalah tawanan kita, El!"
El tidak menyahut. Hanya menyeret langkah menuju ruangan di mana Geni dan Lily berada.
***
Lily berdiri. Matanya menelanjangi sosok Geni tak berkedip.
"Kau pasti masih marah padaku. Lily. Tapi kuyakinkan sekali lagi bahwa aku sudah mengakhiri semua petualangan gilaku. Terutama sejak kematian Tuan Baron," Geni membalas tatapan Lily.
"Baguslah!" Lily menyahut ketus.
"Please, Lily, aku butuh pertolonganmu. Aku harus mengungkap kasus pembunuhan keji ini sampai tuntas. Jika tidak..." Geni beringsut. Kakinya yang semula tertekuk buru-buru diluruskannya.
Sejenak hati Lily diliputi rasa bimbang. Ingin sekali ia mengabaikan kata-kata Geni--lelaki yang amat dibencinya tapi sekaligus amat dicintainya itu.
Beberapa saat hati Lily berkecamuk. Antara keinginan membiarkan atau menyelamatkan.
Sampai kemudian terdengar suara seseorang berdehem.
El.
Serta merta Lily meraih sesuatu dari saku celananya.
Sebuah anak kunci.
Sebelum bibinya yang haus darah itu benar-benar membuka pintu ruangan, Lily harus memastikan bahwa Geni sudah menghilang jauh meninggalkan apartemen.
***
Malang, 26 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca juga:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H