Lantas kami segera merealisasikan niat. Jadilah siang itu. Di siang yang cukup terik, karena Malang belum diguyur hujan, sekitar pukul 11.00 siang, kami janjian bertemu di suatu tempat.
Saya pergi menggunakan jasa gojek. Kebetulan anak lanang yang biasa menemani sedang ada lembur kerja. Sementara sahabat saya membawa motor sendiri. Karena suaminya belum pulang dari dinas di luar kota.
Tersebab belum pernah menyambangi bakso kecambah, saya berdiri di depan Kampus Wearnes menunggu kedatangan sahabat saya. Kami bertemu di sana, lalu berbarengan menuju lokasi yang terletak di Jalan Salatiga.
Saat tiba di lokasi, kami berdua sempat saling berpandangan. Surprise. Penampilan bakso kecambah ternyata jauh dari dugaan kami. Tidak seperti warung bakso kebanyakan yang kerap kami kunjungi. Rombong bakso kecambah mangkal di sisi jalan tepat di belakang Kampus UM. Tanpa pengiyup atau tudung selayak warung.Â
Saya dan say Desol celingak-celinguk sebentar. Mencari tempat duduk. Tapi tentu saja tidak akan menemukan. Bukan kehabisan. Ternyata memang di bakso kecambah sengaja tidak disediakan tempat duduk barang satu pun.
Loh, jadi bagaimana pembeli menikmati bakso mereka?
Inilah yang unik. Pembeli rela makan sambil berdiri. Atau jika ingin sedikit santai, bisa duduk-duduk ngemper di taman yang tidak terlalu luas. Taman yang ditumbuhi banyak bunga Bougenvil.
Tapi di taman itu pun jangan berharap menemukan tikar atau sejenisnya. Hanya ada bongkahan batu bata atau pecahan semen yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat duduk.
Selagi sahabat saya sibuk mencari tempat untuk ngemper, saya gegas memesan bakso kecambah. Satu porsi lengkap, berisi 6 butir pentol ukuran sedang, 2 iris tahu goreng, mie kuning, bihun, toping kecambah dan irisan sawi. Semua hanya dihargai Rp15.000,00. Murah meriah, bukan? Kompasianer jika kebetulan berkunjung ke Malang, silakan mampir ke sini yaa...
Usai ngebakso kami tidak langsung hengkang dari lokasi. Kami masih memiliki kegiatan lain. Yakni mengepaki kue-kue untuk dibagikan kepada mereka.