Tentu sangat mengherankan ketika Ra mengaku bahwa dirinya membutuhkan Matahari. Sebab ia sendiri sebenarnya adalah sang Dewa Matahari.
Istrinya, Tefnut--Dewi Hujan berulang kali mengernyit alis. Memandang suaminya berlama-lama. Berusaha memahami keinginan aneh tersebut.
"Kau sudah sangat benderang, suamiku. Untuk apa masih membutuhkan Matahari lain?" Tefnut akhirnya membuka suara. Ra tidak langsung menyahut. Ia termenung beberapa saat.Â
"Barangkali Shu bisa menjelaskan padamu," Ra balas menatap istrinya.
Tefnut mengangguk. Ia paham benar. Jika Ra sudah berkata demikian itu pertanda ia tidak mau melanjutkan pembicaraan.Â
"Baiklah. Kelak jika Shu--si Dewa Angin itu sudah kembali dari pengembaraannya, aku akan menanyakan hal ini," Tefnut tersenyum.Â
Siang itu Tefnut tidak berani memeluk suaminya. Meskipun ia sangat ingin.
***
Ra mengeluh sekali lagi. Ia benar-benar butuh bertemu Matahari lain. Sebab ia berpikir dirinya semakin menua. Terutama saat senja tiba. Ia merasakan tubuhnya melunglai. Lemah tak berdaya dan meredup.
Tentu saja ular-ular kobra di langit yang bersisik jingga begitu mudah mengalahkannya.
Ra memang selalu tak berkutik melawan ular-ular kobra itu. Mereka ganas dan berbisa. Sama sekali tidak memiliki rasa toleransi sedikit pun. Naluri membunuhnya sangat kuat.Â