"Kau tak perlu menyusulnya, Tefnut. Suamimu dalam keadaan baik-baik saja," Shu mencoba urun nasihat.
"Bagaimana bisa kau bilang begitu? Ra itu agak ceroboh. Siang ini ia lupa membawa bekal. Juga syal yang biasa dikenakannya tertinggal!" suara Tefnut meninggi.
"Dia pasti pulang. Ra itu terlalu manja padamu. Percayalah. Jadi kusarankan, kau tunggu saja di kamarmu. Susui bayi-bayimu," Shu kembali bersuara. Kali ini disertai embusan angin amat kencang. Membuat pintu dan jendela rumah Tefnut terkunci rapat dari luar.
***
Ra duduk termenung di tepi telaga. Â Sesekali ia menyusupkan kepalanya yang bundar di balik batu. Ia khawatir kepergiannya terpergok oleh langit atau Shu yang tentu saja akan memaksanya untuk segera pulang.
Ra memang sedang menunggu. Ia mendengar kabar bahwa di dekat telaga bening yang terhampar di hadapannya saat ini, ada Matahari lain. Matahari yang sama hebatnya dengan dirinya.
Sebenarnya sudah lama Ra mendengar kabar itu. Cuma selama ini ia tidak terlalu tertarik. Barulah ketika usianya semakin menua--ia selalu merasa begitu, Ra mulai memikirkan tentang Matahari lain itu.
Sudah hampir satu jam Ra duduk menunggu. Tak ada tanda-tanda kemunculan sesuatu. Atau, jangan-jangan semua hanya berita bohong yang sengaja disebarkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab? Yang sengaja mempengaruhi Ra supaya datang kemari?
Ra mulai gelisah.
Tapi ia tetap harus sabar menunggu.
Sampai seekor Belibis terbang melintas di hadapannya. Ra terperanjat. Belibis itu terlanjur melihat tempat persembunyiannya.