Tentu sangat mengherankan ketika Ra mengaku bahwa dirinya membutuhkan Matahari. Sebab ia sendiri sebenarnya adalah sang Dewa Matahari.
Istrinya, Tefnut--Dewi Hujan berulang kali mengernyit alis. Memandang suaminya berlama-lama. Berusaha memahami keinginan aneh tersebut.
"Kau sudah sangat benderang, suamiku. Untuk apa masih membutuhkan Matahari lain?" Tefnut akhirnya membuka suara. Ra tidak langsung menyahut. Ia termenung beberapa saat.Â
"Barangkali Shu bisa menjelaskan padamu," Ra balas menatap istrinya.
Tefnut mengangguk. Ia paham benar. Jika Ra sudah berkata demikian itu pertanda ia tidak mau melanjutkan pembicaraan.Â
"Baiklah. Kelak jika Shu--si Dewa Angin itu sudah kembali dari pengembaraannya, aku akan menanyakan hal ini," Tefnut tersenyum.Â
Siang itu Tefnut tidak berani memeluk suaminya. Meskipun ia sangat ingin.
***
Ra mengeluh sekali lagi. Ia benar-benar butuh bertemu Matahari lain. Sebab ia berpikir dirinya semakin menua. Terutama saat senja tiba. Ia merasakan tubuhnya melunglai. Lemah tak berdaya dan meredup.
Tentu saja ular-ular kobra di langit yang bersisik jingga begitu mudah mengalahkannya.
Ra memang selalu tak berkutik melawan ular-ular kobra itu. Mereka ganas dan berbisa. Sama sekali tidak memiliki rasa toleransi sedikit pun. Naluri membunuhnya sangat kuat.Â
Jutaan tahun terlewati, di setiap senja, Ra--dalam hitungan sekian menit dipastikan mati.
Selalu begitu.
Kemudian dalam kematiannya, Ra harus rela menjumpai malam yang pekat. Yang dirasa bagai kubur paling menyiksa. Bayangkan. Ia harus meringkuk kedinginan di bawah kolong langit. Meski Tefnut sesekali memaksa menemaninya, mengajaknya berdansa. Tapi sungguh, itu bukan solusi terbaik. Bahkan boleh dikata semakin memperparah keadaan. Pelukan Tefnut pada pinggangnya membuatnya kian menggigil dalam beku.
Ra semakin yakin. Ia memang benar-benar membutuhkan Matahari lain.
Siang itu tanpa sepengetahuan Tefnut, Ra menghilang. Tekatnya sudah bulat. Ia akan mencari Matahari lain selain dirinya. Di suatu tempat.
Tentu saja kepergian Ra yang tiba-tiba sangat mengagetkan. Para petani yang baru saja menjereng padi di halaman sontak menengadah ke langit. Berharap-harap cemas. Lalu memilih sigap mengarungi bulir-bulir padi.Â
Begitu juga para nelayan. Mereka tergesa memasukkan ikan-ikan kering ke dalam ember. Yang sedang melaut buru-buru menepikan perahu mereka. Langit mendung pertanda badai akan menguasai.
Siang itu langit memang tampak murung.
Tefnut yang tengah memandikan bayi-bayinya tertegun beberapa saat. Kekerasan hati Ra, kadang membuatnya ingin menangis. Meraung-raung sejadi-jadinya. Tapi tentu saja hal itu tidak akan dilakukannya. Ia tidak ingin tangisannya menderas. Membingungkan dan membangunkan bumi yang tengah tertidur.
Tefnut bergegas menghanduki bayi-bayinya. Menidurkan mereka di atas pembaringan. Dan berharap tidur mereka pulas. Sebab ia memutuskan hendak menyusul Ra. Mencari keberadaannya.
Shu yang kebetulan singgah melihat semua. Melihat Tefnut berkemas dengan terburu-buru.
"Kau tak perlu menyusulnya, Tefnut. Suamimu dalam keadaan baik-baik saja," Shu mencoba urun nasihat.
"Bagaimana bisa kau bilang begitu? Ra itu agak ceroboh. Siang ini ia lupa membawa bekal. Juga syal yang biasa dikenakannya tertinggal!" suara Tefnut meninggi.
"Dia pasti pulang. Ra itu terlalu manja padamu. Percayalah. Jadi kusarankan, kau tunggu saja di kamarmu. Susui bayi-bayimu," Shu kembali bersuara. Kali ini disertai embusan angin amat kencang. Membuat pintu dan jendela rumah Tefnut terkunci rapat dari luar.
***
Ra duduk termenung di tepi telaga. Â Sesekali ia menyusupkan kepalanya yang bundar di balik batu. Ia khawatir kepergiannya terpergok oleh langit atau Shu yang tentu saja akan memaksanya untuk segera pulang.
Ra memang sedang menunggu. Ia mendengar kabar bahwa di dekat telaga bening yang terhampar di hadapannya saat ini, ada Matahari lain. Matahari yang sama hebatnya dengan dirinya.
Sebenarnya sudah lama Ra mendengar kabar itu. Cuma selama ini ia tidak terlalu tertarik. Barulah ketika usianya semakin menua--ia selalu merasa begitu, Ra mulai memikirkan tentang Matahari lain itu.
Sudah hampir satu jam Ra duduk menunggu. Tak ada tanda-tanda kemunculan sesuatu. Atau, jangan-jangan semua hanya berita bohong yang sengaja disebarkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab? Yang sengaja mempengaruhi Ra supaya datang kemari?
Ra mulai gelisah.
Tapi ia tetap harus sabar menunggu.
Sampai seekor Belibis terbang melintas di hadapannya. Ra terperanjat. Belibis itu terlanjur melihat tempat persembunyiannya.
"Rupanya kau ada di sini! Pantas sesiangan ini aku tidak melihatmu!" Beiibis berseru lantang.
Terpaksa Ra keluar dari tempatnya meringkuk.
"Apa yang kau cari?" Belibis itu menautkan kedua alisnya.
"Matahari," Ra menyahut ragu.
"Hah?"
"Iya. Aku ingin bertemu Matahari lain. Aku ingin ia bisa membantuku. Utamanya di waktu malam. Agar dunia tidak gelap gulita," Ra menjelaskan dengan suara tersendat.
Belibis tertawa.
"Lalu kau mengira Matahari lain itu ada di sini?"
"Ya! Setidaknya begitu yang kudengar..."
"Kemarilah! Keluar dari persembunyianmu! Di atas permukaan telaga akan kau temui Matahari lain itu!"
Belibis terbang mendahului.
Ra mengikuti.
Dan benarlah. Ia melihat wajah Matahari lain itu. Sama persis dengan dirinya. Bagai pinang dibelah dua.
Ra terharu. Keinginan terbesarnya sudah terpenuhi. Ia benar-benar telah bertemu Matahari lain.
Hari hampir senja. Ketika Ra juga melihat Matahari lain yang berada di dalam telaga mulai meredup. Seperti dirinya.
"Kau? Kenapa kau sama lemahnya sepertiku? Padahal aku sempat berharap kau bisa membantuku mengalahkan ular-ular kobra di langit saat hari menjelang senja seperti ini," Ra berkata kecewa.
Belibis yang terbang merendah kembali tertawa.
"Sekarang pulanglah. Semua mencemaskanmu. Tak ada yang bisa kau lakukan lagi di sini," Belibis mengepakkan sayapnya berulang kali.Â
Ra termangu.
"Lalu bagaimana nasib Matahari lain ini? Apakah ia juga akan mati melawan ular-ular jingga di langit senja?" Ra mengingsutkan tubuhnya sedikit.
"Pulanglah! Tanyakan saja hal itu pada Tefnut. Ia pasti tahu!"
Ra tak ingin membuang waktu. Segera ia melesat pergi menuju rumah.
Di ambang pintu ia melihat Tefnut sudah menunggu.Â
"Boleh aku memelukmu?" Tefnut tersenyum ke arahnya.
"Tentu saja, Tefnut. Peluk aku yang erat. Aku ingin melupakan kebodohanku..."
Lalu gerimis berebut melayang. Membasahi senja yang temaram.
***
Malang, 06 Oktober 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H