Jutaan tahun terlewati, di setiap senja, Ra--dalam hitungan sekian menit dipastikan mati.
Selalu begitu.
Kemudian dalam kematiannya, Ra harus rela menjumpai malam yang pekat. Yang dirasa bagai kubur paling menyiksa. Bayangkan. Ia harus meringkuk kedinginan di bawah kolong langit. Meski Tefnut sesekali memaksa menemaninya, mengajaknya berdansa. Tapi sungguh, itu bukan solusi terbaik. Bahkan boleh dikata semakin memperparah keadaan. Pelukan Tefnut pada pinggangnya membuatnya kian menggigil dalam beku.
Ra semakin yakin. Ia memang benar-benar membutuhkan Matahari lain.
Siang itu tanpa sepengetahuan Tefnut, Ra menghilang. Tekatnya sudah bulat. Ia akan mencari Matahari lain selain dirinya. Di suatu tempat.
Tentu saja kepergian Ra yang tiba-tiba sangat mengagetkan. Para petani yang baru saja menjereng padi di halaman sontak menengadah ke langit. Berharap-harap cemas. Lalu memilih sigap mengarungi bulir-bulir padi.Â
Begitu juga para nelayan. Mereka tergesa memasukkan ikan-ikan kering ke dalam ember. Yang sedang melaut buru-buru menepikan perahu mereka. Langit mendung pertanda badai akan menguasai.
Siang itu langit memang tampak murung.
Tefnut yang tengah memandikan bayi-bayinya tertegun beberapa saat. Kekerasan hati Ra, kadang membuatnya ingin menangis. Meraung-raung sejadi-jadinya. Tapi tentu saja hal itu tidak akan dilakukannya. Ia tidak ingin tangisannya menderas. Membingungkan dan membangunkan bumi yang tengah tertidur.
Tefnut bergegas menghanduki bayi-bayinya. Menidurkan mereka di atas pembaringan. Dan berharap tidur mereka pulas. Sebab ia memutuskan hendak menyusul Ra. Mencari keberadaannya.
Shu yang kebetulan singgah melihat semua. Melihat Tefnut berkemas dengan terburu-buru.