Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Aku, Ibu, dan Bom Waktu

9 Oktober 2018   21:27 Diperbarui: 10 Oktober 2018   01:27 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:sufisticated101.wordpress.com

Ibu mengguncang-guncang tubuhku berulang kali ketika aku baru saja menikmati mimpi. Mimpi indah tentang dunia para peri. Di mana aku berlari-lari kecil bersama mereka di padang rumput yang luas sembari meniup kembang tebu yang lembut bagai kapas.

"Kita harus segera pergi melaksanakan suatu kewajiban, Nak," suara Ibu serupa gaung yang amat jauh. Gaung itu memantul. Berdengung-dengung. 

Entah sudah berapa kali Ibu menandaskan kata 'kewajiban' itu di telinga kecilku.

"Kelak kau akan mengerti mengapa kita melakukan hal ini, Nak," masih, suara Ibu lamat-lamat kudengar.

"Tapi aku masih ingin tidur lagi," sergahku dengan mata terasa berat. 

"Setelah ini--setelah kau ikut bersama Ibu, kau boleh menikmati lagi tidur panjang sepuas hatimu."

Sesak nian dadaku mengenang kejadian pagi itu. Pagi di mana Ibu membawaku pergi ke suatu tempat. Mengikat pinggangku dengan sabuk yang tak biasa. Sabuk besar dilengkapi timer, yang lampunya tak kunjung berhenti menyala, berkedip-kedip.

"Kita akan ke mana, Bu?" aku menyeret kaki dengan mata meriyip. Ibu tidak menyahut. Langkahnya tergesa meraih motor yang terparkir di samping rumah.

"Jangan banyak bergerak dan jangan banyak bertanya!" Ibu tegas menegurku. Lalu suara motor meraung-raung. Ibu memintaku agar gegas naik ke atas sadel, duduk membonceg di belakangnya.

Sebentar kemudian kami meninggalkan halaman rumah kontrakan tanpa bicara.

***

Blaaaar!

Bunyi serupa ban pecah mengagetkanku. Aku membuka mata lebar-lebar. Kulihat seraut wajah tersenyum. Wajah cantik Rahina, istriku.

"Kau bermimpi tentang bocah itu lagi?" tangannya yang lembut terulur, menyapu ubun-ubun kepalaku. Setengah linglung aku mengangguk. 

Entahlah. Sejak mendengar kejadian menghebohkan itu--tentang tempat ibadah yang diledakkan, tidurku tak pernah bisa nyenyak lagi.

"Ban motor Ibu bocor!" terngiang kembali suara itu. Suara yang keluar dari mulut mungil dari seraut wajah lucu.

"Sebentar! Ibu akan cari tukang tambal ban. Kau tunggu saja di sini," seorang perempuan berkata lamat-lamat dengan ekspresi murung.

"Sabuk ini berat sekali, Bu," terdengar suara bocah itu mengeluh.

"Sebentar lagi tidak," perempuan yang dipanggil Ibu menyahut.

"Ibu yakin akan mengajakku?" bocah kecil itu menatap redup mata Ibunya.

"Ya. Ibu ingin kita selalu bersama-sama."

"Tapi, Bu. Bolehkah aku melepas sebentar sabuk aneh ini? Aku ingin berlari bebas menangkap kupu-kupu."

***

Selang lima belas menit kemudian ban bocor sudah beres.

"Siapa namamu?" seseorang bertanya kepada bocah kecil itu.

"Kusuma," bocah itu menjawab seraya membuntuti langkah Ibunya dari belakang.

"Terima kasih," perempuan berwajah murung itu menyodorkan selembar uang, lalu mengambil alih motor dengan tergesa.

Sebelum motor melaju di jalanan, bocah lelaki kecil yang duduk di belakang Ibunya itu berseru.

"Om, sampai bertemu kami di surga, ya!"

***

Keringat dingin mengucur deras membasahi keningku. Rahina melihatnya. Buru-buru istriku itu meraih tisu dan menyeka keringatku dengan lembut.

"Kau tidak perlu merasa bersalah terlalu jauh begitu, Kus. Semua sudah terjadi. Bocah kecil dan Ibunya itu memang ditakdirkan mati dengan cara demikian," Rahina mencoba menenangkanku.

"Kau tidak tahu Rahina. Andai aku segera tanggap, benda yang menonjol pada pinggang bocah itu adalah bom bunuh diri, pasti aku akan berusaha mencegahnya."

"Bocah itu dan Ibunya sudah bahagia di surga, Kus," Rahina menyodorkan segelas air putih. Aku meneguknya hingga tandas.

"Sekarang tidurlah kembali. Malam masih panjang," Rahina merapikan bantal dan menyelimuti kakiku.

Aku terpaksa menuruti nasihat Rahina. Meski jujur, mataku sulit untuk dipejamkan lagi.

Aku merasa lega ketika mendengar suara azan Subuh berkumandang. Bergegas aku turun dari pembaringan menuju kamar mandi dan segera membasuh wajahku yang keruh dengan air wudhu.

Saat sujud di rakaat terakhir, aku menempelkan dahiku berlama-lama di atas sajadah. Airmataku tumpah. Aku memanjatkan doa panjang sekaligus memohon ampun kepada Allah.

Doa panjang kupanjatkan khusus untuk Ibuku yang telah mendahuluiku. Kemudian untuk lelaki tua penambal ban yang pernah menyelamatkan hidupku. Lelaki yang melepaskan bom bunuh diri yang dipasang Ibu. Di pinggang kurusku. Dua puluh tahun silam.

***

Malang, 09 Oktober 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun