Blaaaar!
Bunyi serupa ban pecah mengagetkanku. Aku membuka mata lebar-lebar. Kulihat seraut wajah tersenyum. Wajah cantik Rahina, istriku.
"Kau bermimpi tentang bocah itu lagi?" tangannya yang lembut terulur, menyapu ubun-ubun kepalaku. Setengah linglung aku mengangguk.Â
Entahlah. Sejak mendengar kejadian menghebohkan itu--tentang tempat ibadah yang diledakkan, tidurku tak pernah bisa nyenyak lagi.
"Ban motor Ibu bocor!" terngiang kembali suara itu. Suara yang keluar dari mulut mungil dari seraut wajah lucu.
"Sebentar! Ibu akan cari tukang tambal ban. Kau tunggu saja di sini," seorang perempuan berkata lamat-lamat dengan ekspresi murung.
"Sabuk ini berat sekali, Bu," terdengar suara bocah itu mengeluh.
"Sebentar lagi tidak," perempuan yang dipanggil Ibu menyahut.
"Ibu yakin akan mengajakku?" bocah kecil itu menatap redup mata Ibunya.
"Ya. Ibu ingin kita selalu bersama-sama."
"Tapi, Bu. Bolehkah aku melepas sebentar sabuk aneh ini? Aku ingin berlari bebas menangkap kupu-kupu."