"Apakah Ki Brojo tahu kalau aku masih hidup, Ni?" Roro Saruem bertanya pelan.
"Seperti wanti-wantimu, Saruem. Aku katakan bahwa kau sudah mati."
Lalu hening. Kedua perempuan tua itu saling membisu. Sama sekali tak menyadari Sri Kantil sejak tadi menguping pembicaraan mereka.
Mendengar percakapan dua perempuan yang sangat dikasihinya itu, Sri Kantil termenung cukup lama. Meski ia sudah pernah diberitahu oleh Nini Surkanti siapa dirinya sesungguhnya, tapi tak pelak ia merasa berdebar juga saat mendengar  Ibunya--Roro Saruem menyebut nama Ki Brojo.
"Apakah Bandot---eh, Ki Brojo masih berkeliaran di tempat pertarungan kita, Ni?" Sri Kantil menatap Ibu asuhnya tak berkedip.
"Kurasa mereka sudah pergi, Sri, bandot tua dan muridnya itu. Dan kupikir kau tak usah bertemu dengan dua orang itu lagi. Terutama Pendekar Cacing yang ambisius itu. Ia bisa benar-benar membunuhmu demi bisa memiliki Kitab Kalamenjara itu," Nini Surkanti berdiri. Diraihnya dubang yang sejak tadi tergeletak di atas meja.
Sementara Sri Kantil, begitu mendengar Kitab Kalamenjara disebut, seketika meraba dadanya.Â
Sesaat kemudian ia terpekik.
"Ni! Kitab bertuah itu hilang!"
***
Suasana yang semula tenang mendadak heboh. Sri Kantil melucuti seluruh pakaian yang dikenakannya. Ia mengibas-ngibaskan pakaian itu berulang-ulang, berharap menemukan kitab kecil yang hanya berukuran 4x6 sentimeter itu.