Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Dua Hati Perempuan

3 Maret 2019   14:55 Diperbarui: 3 Maret 2019   20:30 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:meetmindful.com

Ia menangkup punggung gelas dengan tangan gemetar. Hatinya diliputi bimbang manakala mengetahui isi gelas itu. Kental dan berbau anyir.

Sesaat lamanya ia terdiam. Membiarkan pikirannya riuh bergulat sendiri.

"Efek apa yang bakal saya dapatkan setelah minum seduhan jamu ini?" akhirnya ia bertanya. Pelan.

"Rasa panas dan mulas."

"Hanya itu?"

"Ya hanya itu. Sebelum janin itu keluar dengan sendirinya dari rahimmu."

Ia terjengah. Membayangkan segumpal darah yang baru berusia 4 minggu itu luruh, merembes melewati selangkangannya.

Sekali lagi matanya yang sembab menatap isi gelas yang ampasnya mulai mengendap.

Tiba-tiba saja ia seperti terbangun dari mimpi.

"Bisakah jamu ini saya minum di rumah? Saya lupa tadi belum sarapan," ia menyodorkan gelas yang dipegangnya ke arah perempuan paruh baya yang tak henti memandanginya.

Tak ada sahutan. Hanya anggukan kecil sebagai pertanda bahwa keinginannya disetujui. 

Seraya memegangi perutnya ia menyusuri jalanan berbatu, pulang menuju rumahnya.

Sejenak kemudian, sebelum membuka pintu pagar ia melempar bungkusan jamu di tangannya ke dalam tong sampah. Lalu memberanikan diri mengangkat telpon.

"Mas, aku hamil!"

***

Perempuan itu masih terlihat cantik. Meski tanpa polesan make up. Sisa-sisa kecantikan masa mudanya masih sangat kentara. Hanya saja, ya hanya saja. Ia merasa ada yang kurang dalam hidupnya. 

Beberapa kali tanpa sadar ia meraba perutnya yang tetap rata. Perut yang tak pernah membuncit seperti yang kerap dialami oleh perempuan-perempuan kebanyakan yang sudah bersuami.

Ia sebenarnya amat merindukan tangis bayi. Tapi kerinduan itu berusaha disimpannya sendiri. Dalam-dalam. Tak pernah sekalipun ia tunjukkan kepada orang lain. Kecuali kepada bunga-bunga yang tumbuh di taman di mana setiap pagi dan petang ia datang menengoknya. Menyiraminya. Menyingkirkan daun-daunnya yang menguning dan kering.

"Kau masih lebih beruntung dari aku, mawar. Meski tumbuh di tempat yang gersang, matahari masih bisa menghamilimu. Memberimu keturunan sebanyak yang engkau mau," ia bergumam lirih. Jemarinya yang lentik menjentik perlahan sebatang mawar yang tangkainya dipenuhi barisan duri. 

Tentu saja bunga-bunga yang diajak bicara itu tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk samar. Itu pun dibantu oleh embusan angin.

Beberapa menit kemudian perempuan itu menyudahi pekerjaannya. Menyisihkan beberapa tangkai mawar. Lalu memasukkannya ke dalam vas yang sudah diisi air. Selanjutnya dipajangnya kuntum-kuntum mawar itu di atas meja ruang tamu.

Sore ini lelakinya akan pulang. Lelaki yang telah berterus terang padanya bahwa hatinya terpikat pada wanita lain. Dan perempuan itu memutuskan untuk belajar ikhlas menerimanya. 

"Aku butuh generasi penerus. Bersamamu aku tidak bisa memiliki keturunan. Dan, dia--sudah mengaku hamil," beberapa bulan yang lalu, perempuan itu mendengar langsung dari mulut lelakinya. Kabar yang sungguh mengagetkan. Namun ia berpura-pura bersikap tenang. 

Perempuan itu tahu. Suatu saat hal ini pasti akan terjadi menimpa dirinya. Sudah banyak bukan contoh kejadian semacam ini? Ia bukan perempuan satu-satunya yang mengalami nasib kurang beruntung yang divonis mandul dan harus rela menerima kenyataan.

"Nikahi dia. Semoga setelah ini kau merasa bahagia," perempuan itu berkata amat singkat. Sesingkat ia menyeka peluh di dahinya yang tiba-tiba saja deras mengucur.

Jarum jam di dinding berputar lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa demikian. Bisa jadi waktu sengaja berlari terburu-buru demi mengejar sesuatu.

Dan lelaki yang ditunggu oleh perempuan itu, sore itu benar-benar pulang.

Tak ada kecupan seperti dulu-dulu mendarat di keningnya. Hanya sapaan ringan sekadar basa-basi.

"Aku ingin mengemasi barang-barangku," lelaki itu berkata tanpa menoleh. Lalu masuk ke dalam kamar. Perempuan itu membuntuti.

"Kau sudah beberapa minggu tidak pulang. Masa kau tidak merasa kangen terhadapku?" perempuan itu bertanya ragu. Lelakinya bungkam. Tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam kopor yang diletakkan sembarangan di atas tempat tidur.

"Bayi itu sangat lucu. Dia suka pipis sembarangan. Nih, aku bau pesing!" lelaki itu membaui ujung lengan kemejanya. Perempuan itu tersenyum.

"Kau tampak bahagia sekali. Aku senang melihatnya. Sekarang, sebelum kau pulang ke rumah istri mudamu, mari temani aku minum kopi barang sebentar," perempuan itu menatap lelakinya dengan pandang penuh harap.

Dan hari itu, senja bergulir dengan amat manis.

***

Perempuan itu kembali bicara pada bunga-bunga di taman. Menyisiki tangkai demi tangkai mawar yang berduri menggunakan pisau tajam yang ujungnya masih berlumuran darah.

"Rindu di hati ini telah menjatuhkan pilihannya. Dan aku harap kalian bersedia menemaniku senja ini. Senja terakhir. Karena aku baru saja menelpon polisi."

Perempuan itu menyematkan beberapa tangkai mawar di atas cuping telinganya. Sembari tertawa.

***

Malang, 03 Maret 2019

Lilik Fatimah Azzahra

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun