"Aku butuh generasi penerus. Bersamamu aku tidak bisa memiliki keturunan. Dan, dia--sudah mengaku hamil," beberapa bulan yang lalu, perempuan itu mendengar langsung dari mulut lelakinya. Kabar yang sungguh mengagetkan. Namun ia berpura-pura bersikap tenang.Â
Perempuan itu tahu. Suatu saat hal ini pasti akan terjadi menimpa dirinya. Sudah banyak bukan contoh kejadian semacam ini? Ia bukan perempuan satu-satunya yang mengalami nasib kurang beruntung yang divonis mandul dan harus rela menerima kenyataan.
"Nikahi dia. Semoga setelah ini kau merasa bahagia," perempuan itu berkata amat singkat. Sesingkat ia menyeka peluh di dahinya yang tiba-tiba saja deras mengucur.
Jarum jam di dinding berputar lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa demikian. Bisa jadi waktu sengaja berlari terburu-buru demi mengejar sesuatu.
Dan lelaki yang ditunggu oleh perempuan itu, sore itu benar-benar pulang.
Tak ada kecupan seperti dulu-dulu mendarat di keningnya. Hanya sapaan ringan sekadar basa-basi.
"Aku ingin mengemasi barang-barangku," lelaki itu berkata tanpa menoleh. Lalu masuk ke dalam kamar. Perempuan itu membuntuti.
"Kau sudah beberapa minggu tidak pulang. Masa kau tidak merasa kangen terhadapku?" perempuan itu bertanya ragu. Lelakinya bungkam. Tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam kopor yang diletakkan sembarangan di atas tempat tidur.
"Bayi itu sangat lucu. Dia suka pipis sembarangan. Nih, aku bau pesing!" lelaki itu membaui ujung lengan kemejanya. Perempuan itu tersenyum.
"Kau tampak bahagia sekali. Aku senang melihatnya. Sekarang, sebelum kau pulang ke rumah istri mudamu, mari temani aku minum kopi barang sebentar," perempuan itu menatap lelakinya dengan pandang penuh harap.
Dan hari itu, senja bergulir dengan amat manis.