Seraya memegangi perutnya ia menyusuri jalanan berbatu, pulang menuju rumahnya.
Sejenak kemudian, sebelum membuka pintu pagar ia melempar bungkusan jamu di tangannya ke dalam tong sampah. Lalu memberanikan diri mengangkat telpon.
"Mas, aku hamil!"
***
Perempuan itu masih terlihat cantik. Meski tanpa polesan make up. Sisa-sisa kecantikan masa mudanya masih sangat kentara. Hanya saja, ya hanya saja. Ia merasa ada yang kurang dalam hidupnya.Â
Beberapa kali tanpa sadar ia meraba perutnya yang tetap rata. Perut yang tak pernah membuncit seperti yang kerap dialami oleh perempuan-perempuan kebanyakan yang sudah bersuami.
Ia sebenarnya amat merindukan tangis bayi. Tapi kerinduan itu berusaha disimpannya sendiri. Dalam-dalam. Tak pernah sekalipun ia tunjukkan kepada orang lain. Kecuali kepada bunga-bunga yang tumbuh di taman di mana setiap pagi dan petang ia datang menengoknya. Menyiraminya. Menyingkirkan daun-daunnya yang menguning dan kering.
"Kau masih lebih beruntung dari aku, mawar. Meski tumbuh di tempat yang gersang, matahari masih bisa menghamilimu. Memberimu keturunan sebanyak yang engkau mau," ia bergumam lirih. Jemarinya yang lentik menjentik perlahan sebatang mawar yang tangkainya dipenuhi barisan duri.Â
Tentu saja bunga-bunga yang diajak bicara itu tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk samar. Itu pun dibantu oleh embusan angin.
Beberapa menit kemudian perempuan itu menyudahi pekerjaannya. Menyisihkan beberapa tangkai mawar. Lalu memasukkannya ke dalam vas yang sudah diisi air. Selanjutnya dipajangnya kuntum-kuntum mawar itu di atas meja ruang tamu.
Sore ini lelakinya akan pulang. Lelaki yang telah berterus terang padanya bahwa hatinya terpikat pada wanita lain. Dan perempuan itu memutuskan untuk belajar ikhlas menerimanya.Â