Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Miss Sherlick ] Biara Cinta

15 November 2018   20:04 Diperbarui: 15 November 2018   20:10 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miss Sherlick
Bag.5
Kisah sebelumnya : Sang Pelarian

Kedatangan Inspektur Don Apole ke apartemen Miss Sherlick setidaknya telah memberikan titik terang. Usai berbincang panjang lebar dengan Inspektur muda itu Miss Sherlick akhirnya mengambil keputusan untuk pergi ke suatu tempat di mana ia meyakini bahwa Nona Mirza tengah disembunyikan di sana.

------

Pagi ini Jhon memaksa menemaniku pergi. Sedang Inspektur Don Apole berjanji akan menyusul kemudian, setelah ia mengecek segala sesuatunya di kantor tempat ia bertugas. 

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Menuju tempat yang lumayan jauh. Di luar kota. Tepatnya di lereng pegunungan.

Hari sudah semakin terang. Kabut tebal perlahan menghilang. Dua jam kendaraan yang dikemudikan Jhon melewati jalan berliku dengan tanjakan dan kemiringan derajat yang cukup ekstrim. Sampai kemudian Jhon menghentikan kendaraan roda empat itu di suatu tempat.

"Kita sudah sampai, Sherlick!" Jhon melirik ke arahku. Aku mengangguk.

Kami gegas melompat turun. Lalu meneruskan langkah menuju sebuah bangunan yang berdiri megah di hadapan kami. Bangunan itu dihiasi puluhan anak tangga yang harus kami lewati jika ingin mencapai pelatarannya.

Jhon berjalan sigap di depanku. 

"Kau tidak lupa membawa pistolmu kan, Sherlick?"  ia bertanya tanpa menoleh.  Aku tidak menyahut. Kakiku terlalu sibuk melompat-lompat menaiki anak tangga. Dan begitu sampai pada anak tangga teratas, mataku nanar menyapu sekeliling.

"Tempat ini sepertinya sudah lama tidak terurus," Jhon berkata pelan. Aku baru saja hendak mengiyakan ketika seekor kucing melompat ke arah kami.

"Kucing sialan!" Jhon mengumpat sembari menghalau hewan berbulu lembut itu dengan sekali hentakan. Kucing itu terkejut lalu berlari terbirit-birit menjauhi kami.

"Semakin kuat dugaanku, Jhon. Nona cantik yang kita cari memang berada di sini," aku tersenyum kecil ke arah Jhon. Sepupuku itu menghentikan langkahnya sejenak.

"Apa yang membuatmu seyakin itu, Sherlick?" Jhon menatapku heran.

"Kucing itu, Brother. Hewan berbulu itu telah mengendus jejak tuannya," aku menjawab tenang seraya merogoh saku jaket sebelah kanan. Memastikan pistol yang kubawa dalam keadaan baik-baik saja.

"Maksudmu--kucing sialan tadi itu milik Nona Mirza?" Jhon masih menatapku tak berkedip. Aku mengangguk.

"Masa kau sudah lupa, Jhon? Aku pernah melihat kucing berbulu abu-abu itu ketika kita mengunjungi rumah Nona Mirza," aku mengingatkan memori Jhon.  Jhon terdiam. Dari kernyit dahinya aku tahu ia sudah bisa mengingat kembali dengan baik kunjungan kami sore itu di rumah Nona yang bergelar mawar yang terluka itu.

Selanjutnya tanpa komando kami meneruskan langkah beriringan memasuki bangunan berornamen unik itu. 

Suasana sekitar bangunan tampak sepi. 

Jhon benar. Tempat ini memang terlihat tidak terurus. Dinding bangunannya berlumut dan meretak di sana sini.

"Kita tidak akan menemukan siapa-siapa di sini, Sherlick. Kecuali kucing yang tersesat itu," Jhon berkata putus asa. Aku tersenyum. 

"Kau keliru, Brother. Tempat ini tidak seperti perkiraanmu. Ada penghuninya. Sebab--aku baru saja melihat beberapa pasang mata tengah serius mengawasi kita."

***

Aku baru saja membungkukkan badan untuk memungut jepit rambutku yang terjatuh, ketika tiba-tiba beberapa orang bertopeng berlompatan menyerangku. Bunyi gedubrak terdengar berkali-kali. 

Spontan kulayangkan kakiku dan mendarat empuk di beberapa perut. 

Kulihat Jhon juga melakukan hal yang sama.

Tapi akhirnya kami merasa kewalahan. Jumlah mereka terlalu banyak. Aku dan Jhon tidak berkutik saat beberapa tangan dengan kasar meringkus kami.

Tanpa suara mereka menggiring kami ke suatu ruangan yang ada di gedung yang tersembunyi di lereng pegunungan itu.

"Selamat datang di Biara Cinta, Nona dan Tuan detektif. Suatu kehormatan Anda berdua berkenan datang di tempat suci ini." Sebuah suara terdengar berat dan berwibawa. Mataku terpicing. mengamati sosok bertopeng yang baru saja bicara.

Tapi kemudian perhatianku teralihkan pada sosok perempuan yang meringkuk di pojokan sana. Sosok yang amat kukenal, yang sedang kami buru.

Nona Mirza.

Di belakangnya seorang algojo siap mengayunkan pedang ke arah lehernya yang jenjang.

Bersambung...

***

Malang, 15 november 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun