"Kucing sialan!" Jhon mengumpat sembari menghalau hewan berbulu lembut itu dengan sekali hentakan. Kucing itu terkejut lalu berlari terbirit-birit menjauhi kami.
"Semakin kuat dugaanku, Jhon. Nona cantik yang kita cari memang berada di sini," aku tersenyum kecil ke arah Jhon. Sepupuku itu menghentikan langkahnya sejenak.
"Apa yang membuatmu seyakin itu, Sherlick?" Jhon menatapku heran.
"Kucing itu, Brother. Hewan berbulu itu telah mengendus jejak tuannya," aku menjawab tenang seraya merogoh saku jaket sebelah kanan. Memastikan pistol yang kubawa dalam keadaan baik-baik saja.
"Maksudmu--kucing sialan tadi itu milik Nona Mirza?" Jhon masih menatapku tak berkedip. Aku mengangguk.
"Masa kau sudah lupa, Jhon? Aku pernah melihat kucing berbulu abu-abu itu ketika kita mengunjungi rumah Nona Mirza," aku mengingatkan memori Jhon. Â Jhon terdiam. Dari kernyit dahinya aku tahu ia sudah bisa mengingat kembali dengan baik kunjungan kami sore itu di rumah Nona yang bergelar mawar yang terluka itu.
Selanjutnya tanpa komando kami meneruskan langkah beriringan memasuki bangunan berornamen unik itu.Â
Suasana sekitar bangunan tampak sepi.Â
Jhon benar. Tempat ini memang terlihat tidak terurus. Dinding bangunannya berlumut dan meretak di sana sini.
"Kita tidak akan menemukan siapa-siapa di sini, Sherlick. Kecuali kucing yang tersesat itu," Jhon berkata putus asa. Aku tersenyum.Â
"Kau keliru, Brother. Tempat ini tidak seperti perkiraanmu. Ada penghuninya. Sebab--aku baru saja melihat beberapa pasang mata tengah serius mengawasi kita."