Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Detektif Miss. Sherlick | Saksi Kunci

29 Agustus 2018   19:02 Diperbarui: 15 Juli 2022   11:59 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miss. Sherlick

Bag. 2

Cerita sebelumnya: Miss. Sherlick bersama sepupunya Jhon tengah menangani sebuah kasus rumit. Dimulai dari sehelai rambut yang ditemukan mereka berharap akan segera mendapatkan titik terang.

-------

Hari beranjak senja. Udara di penghujung bulan Agustus dingin menggigit. Aku baru saja menarik tirai jendela apartemen ketika terdengar langkah tergesa menaiki anak tangga. Disusul ketukan pada pintu berulang-ulang.

Langkahku beralih menuju pintu. Begitu menguak daunnya, sosok tinggi semampai, berkumis, rambut pendek model jamur, sudah berdiri di hadapanku.

"Apakah Anda Miss. Sherlick?" sosok itu bertanya gugup. Aku mengangguk.

"Maafkan saya mengganggu istirahat Anda, Miss. Sherlick. Saya harus bicara dengan Anda!"

Aku menggeser daun pintu lebih lebar. Mempersilakan tamu istimewa itu masuk. 

"Anda masih suka minum white coffee, bukan?" aku tersenyum.

"Bagaimana Anda tahu saya menyukai white coffee, Miss? Sedang kita sama sekali belum pernah bertemu."

"Ah, itu bukan hal yang sulit bagi saya. Tapi sebelum duduk, bisakah Anda melepas dulu kumis palsu dan wig Anda? Di hadapan saya, Anda tidak perlu repot-repot menyamar sebagai laki-laki," aku menarik kursi. Kemudian melangkah menuju dispenser di sudut ruangan. Kuseduh satu sachet kopi instan ke dalam cangkir dan kusuguhkan di hadapan tamuku.

"Silakan, white cofee untuk menyambut pertemuan tak terduga kita," ujarku tanpa memedulikan ekspresi heran yang masih terbias di wajah perempuan yang menyamar itu.

"Kasus Anda sungguh luar biasa, Nona Mirza," aku mengalihkan pembicaraan. Menatap mata perempuan itu serius.

"Seperti yang saya duga, Anda ternyata sudah mempelajari kasus saya, Miss. Sherlick," tamu itu mendesah. Ia mulai melepas kumis dan wig yang dikenakannya. Aku meraih surat kabar yang terselip di bawah kolong meja. Lalu meletakkan lembar berisi beragam berita itu ke hadapan tamu cantik yang menyudahi penyamarannya sendiri itu.

"Belakangan nama dan foto Anda sangat tenar, Nona Mirza. Hampir semua media mempublikasikannya."

Ia terdiam.

"Anda adalah saksi kunci yang paling ditunggu-tunggu, Nona Mirza. Jika Anda berani muncul ke hadapan publik dan menjelaskan dugaan--maaf, affair--Anda dengan pria keturunan Timur Tengah itu, maka masalah ini akan cepat selesai. Tapi sebaliknya, jika Anda memilih bungkam, opini masyarakat akan terus bergulir tak bisa berhenti," aku menatap tamuku tak berkedip.

"Saya kira masalahnya tidak semudah itu, Miss. Sherlick. Anda tahu, saya sedang berhadapan dengan siapa."

Aku mendengus. Kuakui, kasus yang menimpa Nona Mirza bukanlah kasus biasa. Kasus ini memang menyeret nama besar seseorang.

Sejenak hening menguasai. Tamu cantik yang tengah duduk di hadapanku itu perlahan meraih cangkir di atas meja dan menempelkan ujungnya pada bibirnya yang pucat.

"Miss. Sherlick, entah mengapa saya tergerak datang kemari menemui Anda," ia menyeruput kopinya sedikit. Wajahnya yang pias tampak semakin putih oleh sorot lampu yang meremang. 

"Apakah seseorang telah merekomendasikan saya kepada Anda?" aku menegaskan. Ia mengangguk. 

"Hmm, biar kutebak. Orang itu pasti, Jhon! Ah, sepupuku itu, terkadang ia suka berlebihan mempromosikan diriku. Tapi dia benar. Nona datang pada orang yang tepat."

Aku membetulkan posisi dudukku. Kali ini aku menatap perempuan tinggi semampai itu dengan mata agak mengatup.

***
Hanya sebentar ia bertamu. Sekitar dua puluh menit. Sebelum meninggalkan ruangan, Nona Mirza memasang kembali wig dan kumis palsunya.

"Jadi Anda masih enggan mengklarifikasi tuduhan itu Nona?" aku berdiri. Perempuan itu mengangguk.

"Tapi saya sudah merekam pengakuan jujur di dalam flashdisk pribadi saya, Miss. Sherlick. Untuk berjaga-jaga." Ia berdiri lalu membungkukkan tubuhnya sedikit.

"Apakah Anda butuh pengawalan, Nona Mirza? Jika tidak keberatan, Jhon akan dengan senang hati menemani Anda," aku menawarkan. Nona Mirza menggeleng.

"Penyamaran saya cukup sempurna, Miss. Sherlick. Tak seorang pun bisa mengenali saya. Kecuali Anda, tentunya!" ia tertawa serak. Kuantar perempuan itu hingga di ambang pintu.

Sebentar kemudian terdengar langkah tergesa berderap menuruni anak tangga melewati lorong apartemen.

"Jhon!" aku berseru lantang. Jhon yang sejak tadi berada di ruang baca menampakkan diri.

"Ikuti dia, Jhon. Perempuan itu dalam bahaya!" aku membuka tirai jendela sedikit. Mengintip ke jalanan. Tampak Nona Mirza berlari-lari kecil di sepanjang trotoar.

Tanpa banyak tanya Jhon bergegas turun. Sebentar kemudian kulihat ia sudah berjalan membuntuti perempuan yang tengah menyamar itu.

Dhuuaaaarrrr!!! 

Praaaang....!!!

Bunyi ledakkan disertai getaran hebat membuatku tiarap. Kaca jendela apartemen hancur. Serpihannya terlontar dan berceceran di sana-sini.

"Sherlick! Sherlick! Kau baik-baik saja bukan?" Jhon berlari tergopoh mendapatiku. Aku masih belum beranjak dari posisi tertelungkup di bawah meja.

"Jangan hiraukan, aku, Jhon! Lindungi perempuan itu. Nyawa dia terancam!" aku memarahi Jhon.

"Maafkan aku, Sherlick. Aku lebih mengkhawatirkan keselamatanmu!" Jhon mengulurkan tangannya. Membantuku berdiri. Lalu memunguti pecahan kaca yang berserakan di dekat kakiku.

Terdengar mobil polisi meraung-raung. Beberapa petugas berlarian naik ke apartemen.

"Jhon! Kita kejar Nona Mirza. Bukan aku sasaran tembak sesungguhnya. Tapi perempuan itu!" aku meraih jaket yang tersampir pada lengan kursi. Tapi Jhon menggeleng.

"Percuma, Sherlick, percuma. Sebuah mobil telah membawanya pergi."

Aku berdiri terpaku. Menatap Jhon dengan mimik kecewa.

"Kau sempat mencatat nomor polisinya, bukan?"

Kembali Jhon menggeleng. Sungguh, ingin rasanya aku memelintir lengan sepupuku itu sekuatnya. Gemas atas tindakan cerobohnya.

"Tenang, detektif cantik. Perempuan bernama Mirza itu sempat menjatuhkan sesuatu," Jhon merogoh saku jaketnya. Sebuah benda kecil disodorkan ke arahku. Flasdisk.

"Kali ini aku memaafkan keteledoranmu, Brother!" Aku menepuk pundak sepupuku itu keras-keras. Sampai membuatnya meringis.

"Mari kita pelajari isi flasdisk ini, Jhon. Sesegera mungkin. Siapa tahu kita menemukan bukti baru untuk mengungkap kasus yang tampaknya tidak sesepele yang orang duga. Ada ikan kakap bersembunyi di balik ikan teri, Jhon."

Aku melenggang tenang menuju meja kerjaku. Mengabaikan polisi-polisi yang sibuk memeriksa apartemen yang sungguh--benar-benar amat kacau.

Bersambung....

***

Malang, 29 Agustus 2018

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun