Miss. Sherlick
Bag.1
----
Pagi-pagi Jhon sudah bertandang ke apartemenku. Membawa bungkusan kecil dan menyerahkannya padaku.
"Apa ini, Jhon?" tanyaku seraya mengenyit alis.
"Sehelai rambut, Sherlick," Jhon menjawab. Kakinya melangkah mendekati jendela. Menyingkap tirai yang masih tertutup.
Aku mengamati bungkusan kecil di tanganku. Lalu membukanya perlahan.
"Apakah ini ada kaitannya dengan kasus Nona Mirza?" aku menatap Jhon yang sudah duduk tenang di pojok ruangan. Jhon mengangguk.
"Helai rambut itu kutemukan di atas bantal Nona Mirza, Sherlick," ia menyalakan pemantik api, siap membakar sebatang sigaret yang sudah terselip di antara kedua bibirnya.
"Jangan merokok di dalam ruangan, Jhon! Aku alergi asap. Wajahku bisa bengkak dan kulitku bentol-bentol," aku mengangkat tangan. Dan partner kerjaku itu segera tanggap. Ia sigap memasukkan kembali batang rokok ke dalam saku jaketnya.
"Jadi kau sudah mendahului kerja polisi, Jhon? Itu bagus!" aku tersenyum. Jhon berdehem.Â
Itulah yang aku suka dari Jhon. Setiap kali ada kasus, ia bertindak lebih sigap dari polisi. Ia tahu, barang bukti sekecil apa pun menjadi amat penting bagiku dalam mengungkap kebenaran. Dan satu lagi, Jhon pandai sekali memaksa otakku untuk bekerja lebih keras seperti mesin penggiling padi.
Aku menjereng bungkusan kecil yang kuterima dari Jhon di atas meja. Kuambil kaca pembesar dari saku piyamaku yang lebih mirip seragam dokter itu.
"Sepertinya aku butuh kain berwarna gelap, Jhon."
Jhon beranjak. Membuka laci bufet dan mengeluarkan selembar sapu tangan berwarna hitam lalu menyerahkannya ke arahku.
"Thanks, Jhon."
Menggunakan pinset aku memindahkan helai rambut itu ke atas sapu tangan. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas kondisinya.
"Teksturnya tipis, berwarna putih," aku bergumam.
"Kuingatkan, Sherlick. Rambut orang Timur Tengah, teksturnya tebal. Itu berarti tuduhan yang mengarah kepada pria tua itu--gugur," Jhon tertawa seraya membuang pandang ke luar jendela.Â
"Tidak selalu, Jhon. Keturunan Timur Tengah banyak juga yang memiliki tekstur rambut tipis. Hmm, bagaimana pendapatmu mengenai warna rambut?" aku menatap punggungnya tak berkedip.
"Warna putih berarti milik orang yang sudah berumur," Jhon menegaskan. Ia berjalan mendekat dan berdiri tepat di sampingku.Â
"Apakah itu berarti...tuduhan mengarah lagi kepada orang itu Sherlick?" wajah Jhon terlihat bimbang.
"Tunggu dulu, Jhon. Tidak mesti orang berumur memiliki rambut putih. Â Ada beberapa orang, usia muda bermasalah dengan pigmen rambut mereka."
"Analisismu semakin membingungkan, Sherlick," Jhon mengerutkan alis.
"Kukira tidak, Jhon. Jika kita mengunjungi rumah Nona Mirza sekarang juga, mungkin aku bisa menjelaskan padamu," aku beranjak. Mendahului Jhon keluar dari apartemen.
***
Rumah mewah berlantai dua itu tampak sepi. Kami  harus menunggu beberapa saat sampai terdengar langkah seseorang membukakan pintu pagar.
"Kalian wartawan? Maaf, kami tidak punya berita untuk dipublikasikan hari ini!" seorang perempuan, usia paruh baya menyambut kami dengan kata-kata kasar.
"Kukira ini bagianmu, Sherlick. Kau selalu ahli merayu Ibu-ibu berumur," Jhon mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Aku mengangguk. Lalu berjalan tenang mendekati perempuan yang masih menunjukkan wajah memberengut itu.
"Selamat siang, Madam yang cantik. Perkenalkan, saya Sherlick. Dan ini sepupu saya Jhon. Kami bukan wartawan. Kami hanya ingin menanyakan, apakan Madam memelihara seekor kucing?" aku menyungging senyum paling manis. Wajah perempuan tua itu perlahan berubah.
"Kucing? Ah, sebenarnya aku tidak begitu suka. Yang suka kucing itu majikanku, Nona Mirza."
"Oh, benarkah? Berapa banyak kucing yang Nona Mirza punya?"
"Hanya seekor."
"Apakah kucing milik Nona Mirza berbulu abu-abu keperakan?"
"Tidak. Kucing kesayangan Nona bulunya hitam."
"Terima kasih Madam. Kami datang hanya ingin menanyakan hal itu," kembali aku menyungging senyum. Perempuan paruh baya itu menatapku heran.
"Apakah kalian petugas survey kucing?" ia bertanya sebelum menutup kembali pintu pagar.
"Bukan, Madam. Kami adalah komunitas pecinta kucing. Belakangan ini banyak sekali perlakuan semena-mena terhadap hewan berbulu lembut itu. Dan komunitas kami ingin melindungi hewan-hewan itu dengan cara memberi penyuluhan."
"Aku tidak paham apa yang Nona...eh, siapa nama Anda?" perempuan itu mengamatiku sejenak.
"Sherlick, Madam," lagi-lagi aku harus memasang wajah manis. Perempuan tua itu mengangguk. Aku membungkukkan badan sedikit. "Permisi. Saya kira perbincangan kita sudah selesai. Bolehkah saya dan sepupu saya pamit dulu? Oh, ya. Jika tidak keberatan, sampaikan salam saya kepada Nona Mirza, sekiranya dia sudah pulang," aku mengangguk sopan. Lalu berbalik badan menghampiri Jhon yang tengah asyik mengisap sigaretnya.
"Cukup, Jhon! Aku sudah tahu siapa pemilik rambut di atas bantal itu," aku menggamit lengan Jhon.
"Benarkah?" Jhon buru-buru membuang puntung rokok di tangannya. "Ingat, Sherlick! Kucing milik Nona Mirza berbulu hitam. Bukan putih seperti helai rambut yang kutemukan itu," Jhon tertawa renyah. "Jadi jelas, pemilik rambut itu bukanlah seekor kucing. Melainkan pria tua berdarah Timur Tengah itu."
"Ah, Jhon, itulah kelemahanmu. Kau selalu terburu-buru mengambil kesimpulan," aku menggeser tubuhku. "Kuberi tahu padamu, sepupuku sayang. Aku baru saja melihat kucing milik Nona Mirza melintas di halaman. Kucing itu tidak sepenuhnya berbulu hitam. Pada lehernya terdapat sedikit bulu berwarna putih. Jadi--masihkah kau menuduh pria tua yang sekarang dinyatakan buron itu pernah tidur sekamar dengan Nona Mirza?"
Bersambung...
***
Malang, 26 Agustus 2018
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H