Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cermis | Tiket Kematian

7 Juli 2018   12:18 Diperbarui: 7 Juli 2018   12:40 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
scaryforkids.com/cruise-ship

"Hari ini aku akan menjual tiket dengan harga semurah-murahnya," ujarku tanpa ekpresi. 

Masio, pria tua yang tengah duduk termenung di tepi danau itu menoleh sejenak ke arahku. Tangannya yang keriput meraih sesuatu dari balik saku kemejanya yang lusuh.

Sigaret.

Lalu tangan keriput agak bersisik itu bergerak lagi, lincah menyalakan pemantik api. Sementara kedua kaki kurusnya yang berselonjor bergetar-getar sedikit.

"Aku hanya ingin mengingatkan padamu untuk tidak menuruti hawa napsu, Caprio," ujarnya sebelum mengembuskan asap rokok yang keluar secara bergantian dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Aku membisu. Masih berdiri menatap kejauhan. Membiarkan angin sore menerpa wajah pipihku. Terasa dingin.

Langit di sekitar danau yang semula cerah berubah mendung. Tak ada sekawanan camar terbang melintas seperti biasanya.

Mendadak aku teringat Karina. Istriku. 

"Semua sudah kehendak takdir. Jadi terima saja dengan ikhlas," lagi, Masio berujar. Seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.

"Kau berkata begitu karena kau sendiri  belum pernah menikah," aku mencibir.

"Siapa bilang? Aku sudah beristri dan mempunyai seorang anak," Masio  berkata setengah terbatuk. 

"Oh, ya? Menikah dengan siapa? Maksudku--apakah istrimu seorang..." kalimatku terpenggal oleh kehadiran beberapa sosok yang berjalan tergesa-gesa ke arahku.

"Tiketnya masih ada?" salah satu dari mereka bertanya. Terburu aku merogoh tas kecil yang menempel di pinggangku.

"Ya, masih ada. Masih banyak!" aku tersenyum gembira sembari mengibaskan lembaran kertas yang terbendel rapi. Aku sengaja menunjukan angka yang tertera besar-besar pada tiket di tanganku. Angka yang sangat menggiurkan. 

Serempak orang-orang yang hendak menghabiskan liburan itu berebut menyodorkan uang ke arahku.

"Aku beli lima lembar, Bung!"

"Aku tujuh."

"Dua."

"Sepuluh!"

Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit tiket yang kupegang terjual habis. Tas pinggangku yang semula kosong kini dipenuhi oleh lembaran uang.

"Kau menjual tiket melebihi kapasitas, Caprio. Itu sangat berbahaya," Masio yang belum beranjak dari tempat duduknya menatapku. "Ini sungguh tidak adil. Ada anak-anak tak berdosa yang akan ikut di dalam kapal pesiar itu."

"Apakah mereka berpikir hal yang sama ketika membawa Karina? Asal kau tahu, Masio. istriku itu saat tertangkap, ia tengah mengandung anak-anakku!" aku berseru kalap. 

***

Peluit kapal berbunyi keras sekali. Memekakkan telinga. Beberapa awak terlihat sigap membuang sauh. Kapal pesiar yang semula berdiri tenang mulai bergerak dan siap berlayar meninggalkan dermaga.

Aku masih berdiri di tepi danau. Menatap airnya yang hitam mengeruh.

Sementara Masio, ia belum juga beranjak dari duduknya. Masih bersila. Pandangannya lurus mengarah ke arah depan. Kedua tangannya menempel di atas dada sebelum kemudian ia mengangkat kedua tangan itu tinggi-tinggi.

"Semua sudah terlambat, Masio! Kapal sudah berangkat!" aku berseru lantang penuh kepuasan. Masio tidak menyahut. Kedua matanya masih terpejam.

"Kalau saja orang-orang itu tidak menangkap Karina..." aku bergumam serupa desah. Masio menaikkan sedikit cuping telinganya, mendengarkanku. 

"Kau masih bisa menarik kembali rencana gilamu itu, Caprio. Biarkan kapal pesiar itu sampai di tempat tujuan dengan selamat," Masio mulai berdiri. Aku membuang muka. Pura-pura tidak mendengar ucapannya. 

Tiga puluh menit sudah waktu bergulir. Tidak terjadi apa-apa--tepatnya belum terjadi apa-apa. Aku mulai meraba tas pinggang yang resletingnya sengaja kubiarkan terbuka.

Kuraup semua uang hasil penjualan tiket di dalam tas dengan kasar. Lalu kuhambur-hamburkan ke udara. 

Langit kian gulita. Kabut pekat turun secara tiba-tiba. Pandanganku masih mengarah pada satu titik. Pada benda berbentuk trapesium yang mengambang dengan tenang di tengah danau.

Sudah saatnya. Bisikku geram. Kuangkat tanganku tinggi-tinggi. Kuteriakkan nama Karina sekeras-kerasnya. Hingga tenggorokanku terasa sakit, perih dan terluka. 

Aku nyaris tersedak manakala tampak sepercik api mulai mengitari kapal pesiar yang baru setengah jam meninggalkan dermaga itu.

"Karina, sayangku. Aku telah melunasi hutang mereka padamu," bisikku di antara jerit panik para penumpang yang baru menyadari kondisi ferry yang oleng ke kiri dan mulai terbakar.

"Aku menyesal telah mengajarimu mantra itu, Caprio. Kupikir kau hanya ingin mencari keberadaan istrimu yang hilang. Tapi ternyata tidak!" Masio mulai marah dan menatapku tajam.  

"Oh, ya?" tawa puasku kian pecah. 

Bluuup!

Entah apa yang dilakukan Masio terhadapku. Tahu-tahu tubuhku menyusut dan menggelepar-gelepar di atas tanah.

Seorang bocah belasan tahun berlari-lari kecil mendapatiku.

"Ayah! Satu lagi ikan Mas ukuran besar terdampar di tepi danau ini!" bocah itu berseru riang seraya mengepit tubuhku dengan jemarinya..

"Bawa saja ia pulang, Nak. Masukkan ke dalam kolam di belakang rumah. Pertemukan dengan ikan Mas betina yang kemarin ayah tebus dari seorang nelayan."

Itu suara Masio. Tanpa memedulikan keadaanku.

"Ikan Mas bernama Karina itu, Ayah?"

Aku tertegun.

Jadi Karina masih hidup? 

Jadi aku telah salah menduga?

Jadi...?

Tapi semua sudah terlambat. 

Kapal pesiar yang ditumpangi oleh serombongan orang yang ingin menikmati liburan di sepanjang pesisir danau--sudah tenggelam.

***

Malang, 07 Juli 2018

Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun